Sejarah Munculnya Kelompok Jabariyah, Qodariyah,
Mu’tazilah, dan Asy’ariyah
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah
ILMU KALAM
Dosen
Pengampu :
Prof.Dr.Ali Mashud, M.Ag.M.Pd
M.Fahmi , S.PdI, M.Hum,M.pd
Di
susun oleh:
Muhammad
Abdul Hafiz Salam Akhsani (D71218083)
Novin Fitroni (D71218090)
Rafika Sabriana (D71218096)
Yusuf Dwi Cahya
(D71218107)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah rahmat dan
nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah Munculnya
Kelompok Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, dan Ashariyah”.
Adapun maksud dan tujuan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam agar kita mengetahui tentang apa pengertian aliran Jabariyah,
Qodariyah, Mu’tazilah, dan Ashariyah, tujuan
mempelajari sejarahnya, Dan mengetahui sejarah munculnya aliran-aliran itu.
Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Kami menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari dosen dan rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Surabaya, 18 September
2018
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan ilmu kalam adalah hasil
pengembangan masalah keyakinan agama dimasa nabi. Ummat dimasa itu menerima
sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa
yang diterima. Seperti yang kita ketahui bahwa aqidah ilmu kalam adalah
suatu studi yang membahas mengenai ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.
Tentunya setiap orang ingin mendalami hal-hal yang ada dalam agamanya tersebut.
Untuk itu perlu mempelajari aqidah yang ada dalam agamanya. Dengan membahas
aqidah, tetntunya dapat memperkokoh keyakinan-keyakinan seseorang dalam
beragama. Aqidah, dalam islam disebut juga ilmu at-Tauhid yang artinya ke-Esaan
Tuhan.
Namun sebagian ummat
tidak sepenuhnya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW
selaku pembawa ilmu tauhid dalam Islam. Dalam konteks ini, kami membahas
mengenai ajaran-ajaran atau paham-paham yang menyimpang dari ajaran Tauhid yang
telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Diantaranya yaitu Jabariyah,
Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aliran Jabariyah ?
2. Bagaimana sejarah munculnya
kelompok Jabariyah?
3. Apa pengertian aliran Qodariyah?
4. Bagaimana sejarah munculnya kelompok
Qodariyah?
5. Bagaimana sejarah munculnya kelompok Mu’tazilah ?
6. Bagaimana sejarah munculnya kelompok Asy’ariyah?
C.
Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian
aliran Jabariyah.
2. Agar kita mengetahui sejarah munculnya
kelompok Jabariyah
3. Untuk mengetahui dan memahami pengertian aliran Qodariyah.
4. Agar kita mengetahui sejarah munculnya kelompok Qodariyah.
5. Agar kita mengetahui sejarah munculnya
kelompok Mu’tazilah.
6. Agar kita mengetahui sejarah munculnya kelompok
Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Di dalam al-Munjid
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa
dan mengharuskannya melakukan sesuatu. [1].
Selanjutnya kata jabara bentuk pertama setelah ditarik menjadi jabariyah
memiliki arti suatu kelompok atau aliran.Dalam bahasa inggris , jabariyah
disebut fatalism atau predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar.
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh
Ja’ad bin Dirham yang kemudian di sebarkan oleh Jahn bin shafwan. Benih ini
sudah ada pada beberapa sahabat nabi masih hidup. Diceritakan bahwa pada suatu
hari nabi menjumpai para sahabatnya yang sedang membicarakan masalah qadar.
Nabipun marah dan mengatakan: ‘untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum
kamu binasa karena mereka berbuat seperti kamu ini, saling mempertentangkan
ayat yang satu dengan yang lain. Perhatikan apa yang diperintahkan
kepadamu,lalu kerjakanlah, dan apa yang dilarang maka jauhilah.
B.
Sejarah Munculnya aliran Jabariyah
Mengenai
sejarah kemunculan aliran jabariyah ini meliputi beberapa faktor. Antara lain:
1. Faktor Politik
Pendapat
ini diterapkan pada masa Bani Ummayah dimana keadaan keamanan sudah stabil dengan
tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib,yang
tidak mampu menghadapi kekuatan muawiyah. Dia bermain politik yang licik. Ia
ingin mempengaruhi pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
Negara berdasarkan qadha dan qadar dan tidak ada unsur manusia didalamnya. Golongan
ini muncul di khurasan pada abad 70 H.
2. Faktor Geografi
Para
ahli sejarah melakukan pengkajian melalui pendekatan geokultural bangsa arab.
Kehidupan bangsa arab yang dikelilingi oleh gurun pasir memberikan pengaruh
besar kepada cara hidup mereka. Ketergantungan mereka pada gurun pasir telah
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi seperti inilah bangsa
arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keinginan mereka sendiri dan merasa lemah untuk menghadapi masalah-masalah
hidup. Akhirnya mereka bersikap fatalisme.
C.
Pengertian Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu
dari kata qadara yang artinya kemampuan
dan kekuatan.[2] Dalam pengertian terminologi, qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak melibatkan
campur tangan Allah SWT. Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita pahami
bahwa qadariyah memberikan penekanan bahwa manusia mempunyai kehendak dalam
menentukan jalan hidup untuk mewujudkan kemauan-kemauannya. Mereka sering
disebut sebagai para pengingkar takdir[3].
D.
Sejarah Munculnya Qadariyah
Sejarah timbulnya faham ini juga tidak
lepas dari faham sebelumnya yaitu faham Jabariyah. Pada dasarnya tidak
diketahui secara pasti kapan permulaan faham tersebut ada atau lahir. Namun
yang pasti pada masa dinasti Bani Umayyah, setelah islam dianut oleh berbagai
bangsa, sehingga muncul faham-faham tersebut diantara mereka.
Ahli teologi islam menerangkan bahwa paham
Qadariyah pertama kali dikenalkan oleh Ma’bad al-Juhani, seorang tabi’i yang
baik dan temannya Ghailan al-Dimasqi, yang keduanya mendapatkan paham tersebut
dari orang Kristen yang masuk islam di Iraq. Ma’bad adalah seorang lelaki
penduduk Bashro keturunan orang majusi. Dia adalah seorang ahli hadist dan
tafsir al-Qur’an, kemudian dianggap sesat karena membuat pendapat atau
pernyataan yang salah. Ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. [4]
Disisi lain, Ghailan sendiri terus
menyiarkan ajaran fahamnya tersebut ke berbagai daerah termasuk di Damaskus,
namun mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Namun setelah ‘Umar meninggal dunia, Ghalian
tetap melanjutkan syiarnya, sehingga ia sampai dihukum mati oleh Hisyam Abd
al-Malik (721-743 M). [5]
Menurut W. Montgomery Watt, Ma’bad dan
Ghailan adalah penganut sekaligus penyebar Qadariyah yang hidup setelah Hasan
Al-Bashri. Seperti yang dkutip oleh Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad
pernah belajar pada Hasan al-Bashri, maka sangat mungkin bila paham ini pertama
kali dikembangkan oleh Hasan al-Bashri. Maka keterangan yang ditulis Ibn
Nabatah dalam Syahrul al-Uyun bahwa paham Qadariyah berasal dari orang Irak
Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil
rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar masyarakat tidak
tertarik dengan pemikiran faham ini.[6]
Adapun beberapa ajaran atau faham yang
dikemukakan oleh Qadariyah diantara adalah sebagai berikut : [7]
a) Perbuatan manusia diciptakan atas
kehendaknya sendiri, oleh karena itu ia bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Tuhan sama sekali tidak ikut campur dalam perbuatan manusia,
bahkan Tuhan sebelumnya tidak mengetahui apa yang akan dilakukan manusia.
Kecuali setelah perbuatan itu dilakukan, barulah Tuhan mengetahuinya
Imam Nawawi mengatakan bahwa faham
Qadariyah pada saat ini sudah lenyap sama sekali dari kalangan ummat Islam.
Tetapi setelah itu timbul golongan baru yang mirip dengan paham Qadariyah,
hanya ada perbedaan sedikit dari keduanya. Golongan tersebut dianamakan ahli
Tafwidl[8]. Golongan ini berpendapat bahwa Allah mengetahui
segala apa yang akan terjadi, tetapi mereka menyelisihi dengan menganggap bahwa
perbuatan hamba adalah hasil kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri, bukan
berasal dari kehendak Allah. [9]
E.
Sejarah munculnya kelompok Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah lahir di kota Basrah, Irak.
Pada masa dinasti Umayyah abad pertama hijriyah. Waktu itu Basrah adalah pusat perkembangan
Islam, dari mulai segi ekonomi, kebudayaan, politik, bahkan ilmu pengetahuan. [10]
Lahirnya aliran ini terkenal dengan
kejadian Washil bin Atha’ dan temannya Amr bin Ubaid. Pada saat mereka datang ke majelis Hasasn Al-Basri ada pembahasan masalah
tentang hukum seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Kaum Khawarij
berpendapat bahwa mereka (orang yang melaksakan dosa besar) adalah kafir.
Sedangkan kaum Murji’ah berpendapat bahwa mereka tetap mukmin meskipun telah
melaksanakan dosa besar. Tak lama berselang Washil bin Atha’ langsung
mengemukakan pendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan juga tidak
mukmin. Setelah itu Washil bin Atha’ menjauh dari majelis tersebut dan membuat
majelis sendiri di sisi lain masjid.
Setelah kejadian tersebut Hasan al-Bashir
berkata kepada muridnya “i’tazalna”
(Washil telah mengucilkan diri dari kita).[11]
Setelah itu Washil al-Atha’ disebut Mu’tazilah / orang yang mengucilkan diri.
Nama lain dari Mu’tazilah adalah Qadariah atau kaum rasionalis yang berarti
“the devine justice and unity” (ahli
keadilan dan keesaan).[12]
Namun pemikiran kaum mu’tazilah juga berperan penting dalam kebangkitan
pemikiran dunia islam.
F.
Sejarah munculnya kelompok Asy’ariyah
Ada
beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ariah meninggalkan
Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut
ini dipaparkan :
Al-Asy’ariah puluhan
tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab di suatu malam Abu Hasan al-Asy’ari bermimpi: dalam mimpi itu Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan
mazhab Mu’tazilah salah.[13]
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab
keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah
ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang
tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di
akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal
saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya,
bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku;
sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan
oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu
bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka,
maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi
orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir
mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa
depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga
kepentinganku?”. Di
sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.[14] Karena
perdebatannya sehingga al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah.
Aliran
al-Asy’ariah
muncul setelah kemunduran aliran Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai
pengaruh besar setelah
Mu’tazilah mengalami degradasi. Pergerakan
al-Asy’ari di
mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam konflik dengan
kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah[15].
Sejak itu Abu Hasdan
Asy’ari gigih menyebar luaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru
dalam Teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jama’ah. Pengikut
al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.
Aliran
al-Asy’ari merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak dengan aliran
pemikiran Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan pemikiran rasional saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain
yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan
Hadist Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.
Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup
kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya,
ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang
harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.
Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama
menyebarnya Tasawuf (sufi), pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para
penguasa di beberapa pemerintahan Islam. Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh
Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M yang menyebabkan pemahaman ini dapat
menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan
beserta Perdana Menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah.
Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang
sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah
baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur yang didirikan oleh Nizam
al-Mulk. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di
dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para
fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga
wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang
paling populer atau banyak pengikutnya dan tersebar di seluruh dunia.
Adapula Tokoh-tokoh Aliran Al-Asy’ariyah yaitu:
1. Abu Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama
mendirikan aliran Asy’ariyah.[16] Nama lengkap beliau
adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin
Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari . Beliau adalah putra Abu Musa
al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa
antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada
tahun 260 H/873 M dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H/935 M. Sejak kecil ia
berguru kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai,
mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus sampai usia 40
tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke kota
Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia
belajar ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan
orang mu’tazilah yang tangguh . [17]Jadi Abu al-Hasan
al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari masa kecilnya tentang aliran
Mu’tazilah.
Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:
1) Wajibul Wujud,
bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat
yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa
dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha mengetahui),
al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain.
2) Keadilan
Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena al-Asy’ari memakai
pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Jadi Tuhan bertindak semaunya
terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan
salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau
sebaliknya, semua tergantung dari Allah.
3) Al-Qur’an,
bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya,
hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat
Qadim hanya esensi al-Qur’an itu sendiri. [18] Menyangkut tentang Akal
dan Wahyu, menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban
mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu,
wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui
Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu..[19] Dengan demikian
al-Asy’ari memberikan posisi wahyu lebih tinggi tingkatannya dibanding akal atau pemikiran manusia.
4) Iman bagi
al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah kategori Iman tapi
perwujudan dari pada Tasdiq. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa Iman adalah
keyakinan bathin baik iman secara lisan atau secara perbuatan keduanya
merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa saja yang beriman pada hatinya
(mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya serta dengan ikhlas mempercayai segala
apa yang mereka terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia mati ia
akan selamat dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu (keduanya) dari kebenaran-kebenaran
yang dua itu. [20]Jadi
siapa saja yang beriman dalam hatinya maka jika ia mati maka akan selamat dari
neraka. Dengan demikian kata al-Asy’ari
siapa saja yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu,
maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
5) Melihat Tuhan, ia berpendapat bahwa
setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat
dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin akan melihatnya
dihari akhir nanti, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Wajah-wajah
orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat (memandang
Tuhannya)” (Q.S. al-Qiyamah/75: 22).[21] Dan juga terdapat dalam Kitab Hadis Bukhari:
“Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya
kamu akan melihat Tuhan kamu senyata-nyatanya.” (HR. Imam Bukhari _ ( Sahih
Bukhari Juz IV hal.200 ).Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak
memerlukan ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti
kita), sebab itu mustahil.Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin Kasyab
(perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia.Menurutnya, setiap perbuatan
manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal
itu diperoleh manusia untuk dipertanggungjawabkan.[22] Doktrin ini sarana untuk menggambarkan
kebebasan kehendak manusia, juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap
daya dan kekuatan Tuhan semata.
2. Al-Baqillani
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn
al-Qasim Abu Bakr al-Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang
diduga lahir di Bashrah.[23] Itulah nama lengkap yang orang lain kenal
sebagai al-Baqillani.
Pemikiran Kalam
al-Baqillani yaitu:
1) Fungsi Akal dan Wahyu
Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui
adanya kewajiban-kewajiban dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu
sekedar melengkapi temuan-temuan dari akal tersebut. Dengan kata lain, fungsi
akal bagi aliran Mu’tazilah bersifat informatif, sedang wahyu bersifat
konfirmatif .[24]Aliran ini lebih
mengutamakan akal dari pada wahyu. Akal sebagai penemu dan wahyu adalah
konfirmasi. Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui
kewajiban-kewajiban serta baik dan buruk bersifat konfirmatif dari informasi
yang dibawa wahyu.[25]
Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan
terhadap masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa.
Misalnya, walaupun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana makanan yang
sehat dan mana yang mengandung racun, tetapi akal dapat mengetahuinya melalui
eksperimen .[26]Berdasarkan
pendapat di atas, akal hanya mampu mengetahui baik dan buruk yang berada di luar bingkai syar’i,
sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan dosa, wahyulah yang
menentukan.
2) Tentang
Sifat-sifat Tuhan
Menurut pandangan aliran al-Asy’ari bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang lain
dari zat-Nya. Menurutnya Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai
ilmu. Demikian pula menurutnya Allah mempunyai qudrat, hayat dan sebagainya .[27] Jadi menurut aliran ini
bahwa bumi ini diciptakan oleh Tuhan yang memiliki ilmu.
3). Perbuatan
Manusia
Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan
di dalam perbuatannya. sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan
Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia, sehingga manusia
sama sekali tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya .[28] Tuhan pemegang semua
kekuasaan sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menentang.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada
perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada pula perbuatan yang
manusia terpaksa melakukannya. Menurutnya,manusia mampu berdiri, duduk, dan
berbicara dengan kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu bergerak
ketika lumpuh dan sakit .[29] Dengan demikian, manusia
mempunyai kebebasan kehendak dalam menentukan perbuatannya sendiri.
3. Al-Gazali
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang
terletak didekat Tus (wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad
al-Tawus Abu Hamid Imam al-Gazali, digelari hujjat al-Islam. Hujjat al-Islam
adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain sebagai representasi
kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap argumentasi yang
mendasari pemikirannya.
Pemikiran Kalam
Al-Gazali
1) Fungsi Akal
dan Wahyu
Akal dalam
pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran tentang alam
yang bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Gazali
selanjutnya, bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan
akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui
dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu
kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu .[30] Oleh karena itu akal dan
wahyu saling menunjang satu sama lain. Demikian pula dengan pahala dan dosa,
akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala dan dosa hanya
bisa diperoleh melalui wahyu.
2) Perbuatan
Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya yang terdapat dalam diri
manusia tidak efektif dalam mewujudkan perbuatan, tetapi lebih bersifat
impotensi .[31]
Dengan demikian, manusia tidak punya kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya,
ia sangat bergantung pada daya yang diciptakan Tuhan.
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini,
al-Gazali menyatakan bahwa perbuatan adalah bagian dari gerak yang bila
dihubungkan dengan manusia, maka ada gerak yang tidak disadari (al-tabi’iyah)
dan gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang disadari terjadinya,
melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut dengan ikhtiar. Dan
perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan
(al-ilm),kemauan (al-iradah), dan kemampuan (al-qudrah) .[32] Jadi perbuatan yang
dilakukan manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya
adalah perbuatan Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majas, bukan
sesungguhnya.
3) Sifat-sifat
Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali lebih sejalan dengan
pandangan al-Asy’ari. Ia menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim
yang tidak identik dengan zat Tuhan dan sifat-sifat itu mempunyai wujud diluar
zat-Nya.
Perkembangan Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam
Perkembangan
Aliran Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal
jama’ah)Sebagaimana telah diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran
al Asy’ari kemudian diidentikkan dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka
untuk membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya
tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri. Pengaruh
Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) jika diperhatikan perjalanan
sejarah tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka dapat dikatakan
bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari beberapa
hal:
1. Kepintaran
tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan
basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan
taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan
dari mereka.
2. Asy’ariah
memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang
sangat membantu penyebaran paham ini.Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli
dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam
mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga
melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya
tersebut antara lain: Maqalat al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al
Luma, Ketiganya oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Qawaidul Aqa’id
dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al Sanusi,
Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di
Indonesia misalnya NU secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian
pula Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang
terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah.
Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu
Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran
Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW tidak semuanya dapat
diterima oleh para ummat. Bahkan sampai ada beberapa ajaran yang menyimpang
dari ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Termasuk diantaranya adalah
paham mengenai qada’ dan qadar atau orang awam menyebut dengan takdir. Takdir
adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun iman
yang ke enam. Dan kita harus saling menghormati pendapat
beberapa kelompok.
B.
Saran
Demi kesempurnaan
makalah ini, diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengenai “Bahasa, logika,
term, konotasi, dan denotasi” oleh para pembaca. Karena penulis pun juga masih
mempunyai banyak kekurangan dalam penjabaran permasalahannya. Sehingga, sangat
dibutuhkan kritik dan saran yang kontruktif sebagai kontruksi perwujudannya.
Semoga makalah ini pun bukan hanya sekedar bermanfaat.
Tapi benar-benar bermanfaat secara nyata. Baik secara langsung maupun tidak
langsung, bagi para pembaca pada umumnya dan juga bagi para penulis pada
khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Ahmad. Fajar...,
Al-Asy’ari,
Abu Hasan ali ibn ismail. Al-Luma fi Radd
Ahl Ziyag wa al-Bida’. Mesir : Matba’ah Munir, 1955.
Al-Asy’ari.
Abu Hasan. al-Ibanah ‘an Usul al-Dinayah.
Dar al Kitab al-Arabiy, 1985.
Al-Baqillani.
Kitab Tamhid al-Awa’il wa Talkhis
al-Dala’il. Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369.
Al-Syahrastaniy,
Abd al-Karim. al-Milal wa al-Nihal.
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992.
Al-Syahrastani.
al-Milal Wa al-Nihal Jilid I. Cairo :
Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967.
Al-Yusu’i,
Luwis Ma’luf. al-Munjid. Al-Khatahulukiyah
: Beirut, 1945.
Departemen
Agama RI, Mushaf al-Qur’an Terjemah.
Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2002.
Glasse,
Cyrill. The Concise Encyclopedia of
Islamditerjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam.
Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi,
A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1980.
Haq,
Hamzah. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar
: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Hasyim,
Umar. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1986.
Ilhamuddin.
Pemikiran Kalam al-Baqillani.
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997.
Kazi
K. dan J.G. Flynn. Muslim Sects And
Divisions diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam
terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya
Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani.
Bandung : Pustaka, 1999.
Madkour,
Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah,
Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin
dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Mudhofir,
Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam
Filsafat dan Teologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996.
Mu’in, M. Taib Thahor Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta : Widjaya, 1966.
Nasution, Harun. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press, 1986.
Nasution, Harun. Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung : Mizan, 1996.
Nasution,
Harun. Teologi Islam : Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press, 1986.
Nasution,
Muhammad Yasin. Manusia menurut al-Gazali.
Jakarta : Rajawali, 1988.
Rochimah. Ilmu
Kalam. Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2013.
[1] Rochimah, Ilmu Kalam (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press,2013), 105
[2] Luwis Ma’luf al-Yusu’i, al-Munjid, (Al-Khatahulukiyah : Beirut,
1945), 436
[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta : UI Press, 1986), 31
[4] Ahmad Amin, Fajar..., 284.
[5] Ibid, 33.
[6] Ahmad Amin, Fajar..., 284.Rochimah dkk, Ilmu Kalam (Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press, 2011), 70.
[7] Rochimah dkk, Ilmu Kalam (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press, 2011),
70.M. Taib Thahor Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Widjaya, 1966), 238-239.
[8]M. Taib Thahor Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Widjaya, 1966),
238-239. https://muslim.or.id diakses pada
tanggal 18 September 2018 pukul 21:28
[9] https://muslim.or.id diakses pada tanggal 18 September 2018 pukul
21:28
[13] Harun Nasution. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1986), h.66
[15] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah,
Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin
dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995), h.
65.
[16] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), h. 66.
[18] Cyrill
Glasse, The Concise Encyclopedia of Islamditerjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi
dengan judul Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 1999), h.
41.
[19] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17.
[20] .K.
Kazi dan J.G. Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan oleh Karsidi
Diningrat dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim
Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal karya Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, (Bandung: Pustaka,
1999), h. 125
[22] al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I (Cairo: Mustafa
al-Baby al-Halaby, 1967), h. 124.
[25] Abd al-Karim al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 1992), h. 88.
[28] [16]
Abu Hasan ali ibn ismail al-Asy’ari, Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’
(Mesir: Matba’ah Munir, 1955), h. 69.
[29]Al-Baqillani, Kitab Tamhid al-Awa’il wa Talkhis
al-Dala’il, (Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369 H). h. 323.
[32] Loc.cit, Muhammad Yasin Nasution, Manusia menurut al-Gazali
(Jakarta: Rajawali, 1988), h. 129.
Download Link
Download Makalah Sejarah Munculnya Kelompok Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah (Format Doc.)
1 comments :
Click here for commentssyukron, sangat bermanfaat untuk menambah wawasan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon