Tiga Kerajaan Besar Setelah Abbasiyah
Kerajaan Abbasiyah telah hancur akibat Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, tetapi Islam masih eksis dan berkembang di penjuru dunia, hal ini dibuktikan masih ada tiga kerajaan besar setelah Baghdad runtuh, yaitu kerajaan Safawi di Persia, Usmaniyah di Turki (Turki Usmani) dan kerajaan Mughal di India. Selain itu, masih banyak kerajaan-kerajaan kecil antara lain Umayyah II di Spanyol, Rustamiyah, Idrisiyah, Aghlabiyah, Tuluniyah, Ikhsidiyah, Hamdaniyah dan lain-lain yang ada di penjuru dunia. [1] Jadi, setelah Kerajaan Abbasiyah yang dikenal dengan para tokoh yang ahli dalam beberapa bidang keilmuan ini hancur, lahirlah kerajaan yang banyak kalangan ahli sejarah menyebutnya dengan zaman keemasan yakni kerajaan Turki Usmani.
1. Kerajaan Usmani di Turki
Awal mulanya gabungan qabilah Turki dari wilayah Oghus, suku Kayi terpaksa mundur akibat serangan Mongol di Khurasan, kemudian mereka mendapat perlindungan dari salah seorang Shah Khawarizmi, Jalaluddin magubirty, yang menunjuk suatu daerah padang rumput bagi kediaman mereka di barat laut Armenia. Di bawah pimpinan Ertoghul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II (Sultan Saljuk) yang sedang perang melawan Byzantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin II mendapat kemenangan. Lalu Sultan Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Byzantium. Sultan juga membiarkan Ertoghul memperluas wilayahnya ke arah Byzantium. Putra Ertoghul bernama Usman diduga lahir pada tahun 1288 M. Setelah Ertoghul meninggal dunia tahun 1289 Masehi, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Ertoghul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. [2] Pada tahun 1300 M. bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Akibat kejadian ini, Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri, yang penguasa pertamanya adalah Usman sendiri dan selanjutnya ia sering disebut juga dengan nama Usman I. Jadi, sepeninggal Sultan Alauddin (Alauddin Kaikobat) pada tahun 1300 M. itu, Usman mengambil alih kekusaan. [3]
Oleh karena itu, kerajaan tersebut lahir setelah ada pejuangan dari orang-orang yang disusun dan dipimpin rapi oleh seseorang yang bernama Ertoghul yang berasal dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina itu memiliki tekad yang kuat untuk membantu Sultan Alauddin II dalam perang melawan Byzantium dan memenangkan peperangan tersebut. Kerajaan ini tampak setelah Sultan Alauddin meninggal pada tahun 1300 M. akibat penyerangan bangsa Mongol dan Usman mengambil alih kekuasaan. Sejak tahun tetsebut kerajaan Usmani berdiri.
Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman (raja besar keluarga Usman) pada tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukkan kota Broessa tahu 1317 M, kemudian pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Kerajaan Turki Usmani pernah mengalami jaman keemasan dalam sejarah islam yakni dapat menaklukkan kota Konstatinopel (Istanbul) yang dahulunya rasululloh itu telah menyebutkan dalam Hadis yang berbunyi "Konstatinopel akan jatuh ditangan seorang pemimpin yang sebaik-baik pemimpin, tentaranya sebaik-baik tentara, dan rakyatnya sebaik-baik rakyat." yang sejak jaman Khulafa' Al-Rasyidin kekuasaan yang besar itu belum berhasil ditaklukan oleh umat islam akhirnya dapat ditaklukan.
Kemajuan-Kemajuan Kerajaan Turki Usmani
Kemajuan dibidang politik tidak terlepas dari kesuksesan para pemimpin Usmani didalam menkonsolidasikan segala aktivitas kenegaraannya dan menjaga wibawa politiknya. Masa-masa Pengkonsolidasian, dimulai semenjak Usman diakui sebagai salah satu Bey (Penguasa) oleh Dinasti Saljuk, yang kemudian ia berhasil menjadi seorang Sultan pertama kerajaan Usmani. Pada tahun 1326 M. Usman wafat, kemudian Orkhan (Putra Usman) menggantikan kepemimpinannya dan Orkhan berhasil menaklukkan Broessa di kaki gunung Olympus dan menjadikannya ibu kota. Di kota ini Usman disemayamkan, di sebuah gereja yang diubah menjadi masjid yang indah. Pada tahun 1327 M., Nicomedia (Izmid), jatuh pula ke tangan Orkhan dan sebagai penganut Islam yang taat serta mengahrgai ilmu pengetahuan, Orkhan mendirikan madrasah Usmani yang pertama. [4] Jadi, usaha dari seorang pemimpin kerajaan tersebut tidak hanya mengadakan perluasan wilayah saja, akan tetapi kegigihan dalam memimpin rakyatnya itu dengan cara membangun dan memberi fasilitas dalam kegiatan belajar mengajar. Lalu, Penaklukan kota Konstatinopel dan negeri Balkan merupakan tonggak yang sangat menentukan dalam sejarah Usmani. Selain memuaskan bangsa Turki, Imperium Usmani, dan ambisi umat Muslim, penaklukan tersebut menjadikan mereka leluasa. [5] Oleh karena itu, Dinasti Usmani ini mempunyai sejarah yang terkenal di bangsa Islam maupun bangsa barat. Begitu juga di bidang kemiliteran, para pemimpin kerajaan Usmani di permulaan masanya adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani mencapai masa keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup melakukan pertempuran kapan dan dimana saja.
Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi personel-personel pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negari-negeri non-Muslim. [6] Jadi, sebuah usaha dari prajurit yang gagah dan pemberani dalam mengatur strategi perang itu sangat dibutuhkan, agar prajurit yang lain itu dapat termotivasi akan arti suatu perjuangan. Selain Jenissari, ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi, karena ia mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani. Pada abad ke-16, angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan militer turki Usmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang amat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang yang mendorong kemajuan di lapangan kemiliteran ini ialah tabiat bangsa Turki itu yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan. Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah. Setelah itu, untuk mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I, disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar Al-Qanuni. Kebudayaan Turki Usmani merupakan perpaduan macam-macam kebudayaan, diantaranya adalah kebudayaan Persia, Bizantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sedangkan, ajaran-ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf mereka terima dari bangsa Arab. Orang-orang Turki Usmani memang dikenal sebagai bangsa yang suka dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka untuk menerima kebudayaan luar. Hal ini mungkin karena mereka masih miskin dengan kebudayaan. Bagaimanapun, sebelumnya mereka adalah orang Nomad yang hidup di dataran Asia Tengah. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begiu menonjol.
Dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani. Namun demikian, mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Jami' Sultan MuhammadAl-Fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya. Pada masa Sultan Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya, banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinat Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Pihak lain juga ada kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, tafsir, dan hadits boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang yang berarti. Para penguasa lebih cenderung untuk menegakkan satu faham (madzhab) keagamaan dan menekan madzhab lainnya. Sultan Abdul Hamid II, misalnya begitu fanatik terhadap aliran Asy'ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritik-kritikan aliran lain. Ia memerintahkan kepada Syekh Husein Al-Jisri menulis kitab Al-Hushun Al-Hamidiyah (benteng pertahanan Abd. Al-Hamid) untuk melestarikan aliran yang dianutnya itu. Akibat kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan, maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik. [7] Jadi, dalam sebuah Dinasti pelajaran dan pendidikan itu sangat dibutuhkan, agar pemahaman masyarakat didalam beragama itu tetap dalam berlandaskan Ahlu As-Sunnah Wal Jama'ah.
Kemunduran Kerajaan Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Perlahan tapi pasti kejayaan Turki Usmani mulai memudar, karena para pemimpin yang menggantikannya tidak mempunyai kemampuan yang cukup memadai untuk mengatasi permasalahan yang timbul, diantaranya pemberontakan-pemberontakan di wilayah-wilayah kekuasaan, dan bangsa-bangsa Eropa yang mulai mengalami masa kemajuan yang pesat. Hingga akhirnya di akhir Perang Dunia II 1942 H dimotori oleh Kemal Attaturk, Kerajaan Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki. Maka dengan demikian berakhirlah kerajaan Islam yang berkuasa selama 6 abad. [8]
Banyak faktor yang menyebabkan Kerajaan Turki Usmani itu mengalami kemunduran, diantaranya adalah :
1. Wilayah kekusaan yang sangat luas, sedangkan administrasi pemerintahan kerajaan tidak beres.
2. Heterogenitas penduduk dengan wilayah yang sangat luas, sehingga perbedaan bangsa dan agama acapkali menyebabkan terjadinya pemberontakan.
3. Pemerintahan yang lemah setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni, menyebabkan banyak terjadi kekacauan di pemerintahan.
4. Pemberontakan tentara Jenissari, tentara yang menjadi sumber kekuatan militer Turki Usmani, pernah terjadi 4 kali.
5. Kemerosotan Ekonomi.
6. Terjadi stagnasi dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara bangsa-bangsa Eropa sedang mengalami masa pesatnya ilmu pengetahuan. [9] Bagaimanapun juga, kerajaan Turki Usmani banyak berjasa, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam ke Benua Eropa. Ekspansi kerajaan ini untuk pertama kalinya lebih banyak ditujukan ke Eropa Timur yang belum masuk dalam wilayah kekuasaan dan agama Islam. Akan tetapi, karena dalam bidang peradaban dan kebudayaan, kecuali dalam hal-hal yang yang bersifat fisik, yakni perkembangannya jauh berada di bawah kemajuan politik. Maka, bukan saja neger-negeri yang sudah ditaklukkan akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan pusat, tetapi juga masyarakatnya tidak banyak yang memeluk agama Islam.
2. Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan safawi berasal dari sebuah gerakan Tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota yang terletak di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi. Shafi al-Din dikenal sebagai murid yang taat dari seseorang Mursyid Syekh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1218-1301 M) yang dikenal dengan sebutan Zahid Al-Gilani di kota Jilan dekat laut Kaspia, kemudian ia dijadikan menantu oleh gurunya dan sepeninggal gurunya ia menggantikan kedudukannya. Shafi Ad-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Syi'ah yang ke-7 bernama Musa al-Kazhim. [10] Maka, berkat prestasi dan ketekunannya dalam bidang tasawuf,Shafi Ad-Din dijadikan sebagai menantu oleh gurunya. Shafi Ad-Din mendirikan tarekat safawiyah setelah menggantikan gurunya sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat tekun memegang ajaran agama. Pada awalnya, gerakan tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, termasuk para ahli Bid'ah. Tarekat yang di pimpin oleh Shafi Ad-Din ini semakin menguat posisinya, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Begitu juga di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar "khalifah". Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, sekaligus menentang setiap orang bermadzhab selain syi'ah. Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Junaid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Ditempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki.
Selama dalam pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Anak Junaidi yaitu Haidar, ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru dapat diserahkan kepadaNya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK koyunlu berusaha melenyapkan kekuasaan dinasti safawi. Pasukan haidar mengalami kekalahan dala suatu peperangan di wilayah Sircassia, dan Haidar sendiri terbunuh.
Kepemimpinan gerakan safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia & tahun. Selama 5 tahun Ismail bersama pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan pera pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah).
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Hizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini brusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu, dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamkirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. [11] Dinasti Safawiyah termasuk salah satu dinasti terpenting dalam sejarah Iran. Dinasti ini tergolong salah satu negeri Persia terbesar semenjak penaklukan muslim di Persia. Negeri itu juga menjadikan syi'ah sebagai aliran agama resmi, sehingga menjadi salah satu titik penting dalam sejarah muslim.
Dinasti Safawiyah berkuasa pada tahun 1501-1722 M (mengalami restorasi singkat pada tahun 1729-1736 M). Pada puncak kejayaannya, wilayah Safawiyah meliputi Iran, Azerbaijan, Armenia, sebagian besar Irak, Georgia, Afganistan, Kaukasus, dan sebagian Pakistan, serta Turkmenistan dan Turki.
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara plitik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang menggangu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah di rebut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Ragam kemajuan yang telah diraih pada masa Dinasti Safawiyah adalah sebagai berikut:
1. Bidang Politik dan Sosial
Keadaan politik pada masa Dinasti Safawiyah mulai bangkit kembali setelah Abbas I naik tahta pada tahun 1587-1629. Ia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik. Langkah-langkah yang ditempuh olehnya guna memulihkan politik Dinasti Safawiyah ialah sebagai berikut:
a. Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat
b. Pemindahan ibu kota ke Isfahan
c. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas kerajaan safawiyah dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I
d. Mengadakan perjanjian damai dengan Kerajaan Turki Usmani
e. Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah dalam khutbah jum'at
Reformasi politik yang telah dilakukan oleh Abbas I bisa membuat Kerajaan Safawi kuat kembali. Setelah itu, ia mulai memusatkan perhatiannya guna merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Perlu diketahui bahwa kerajaan safawi dan turki ustmani sebelum abad ke-17 saling bermusuhan, dan safawiyah mengelami banyak kekalahan. Tetapi setelah Abbas I naik tahta, safawiyah berhasil merebut wilayah kekuasaan kerajaan turki ustmani, sehingga menuai kemenangan.
2. Bidang Agama
Pada masa Abbas I, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya, yang senantiasa memaksakan agar Syi'ah menjadi agama negara, melainkan ia menanamkan sikap toleransi.
3. Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan safawiyah pada masa Abbas I telah memacu perkembangan perekonomiannya, terutama setelah pulau Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, maka salah satu jalur dagang laut antara negara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, akhirnya menjadi milik kerajaan safawi.
Selain sektor perdagangan, kerajaan safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, khususnya di daerah bulan sabit subur ( fertile crescent). Tetapi, setelah Abbas I meninggal dunia, perekonomian safawi mengalami kemunduran secara perlahan. Dan, puncak kemundurannya terjadi padamasa kekuasaan Syafi Mirza. Pada masa ini, rakyat cenderung cuek, karena mereka mengalami penindasan dari Syafi Mirza. Meskipun begitu, banyak saudagar bangsa asing berdiam di Iran sekaligus mengendalikan ekonomi.
4. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah islam, Persia dikenal sebagai bangsa berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika pada masa kerajaan safawiyah, terutama pada masa Abbas I, tradisi keilmuan terus berkembang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa kerajaan safawiyah terkait doktrin mendasar bahwa kaum syi'ah tidak boleh taklid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Mereka berbeda dengan kaum sunni yang meyakini bahwa ijtihad telah berhenti dan orang-orang harus taklid. Sedangkan kaum syi'ah tetap berpendirian bahwa mujtahid tidak terputus selamnya.
5. Bidang Seni
Di bidang seni, kemajuan terlihat dari gaya arsitektur bangunan, seperti masjid Syah yang dibangun pada tahun 1603 M. Adapun unsur seni lainnya dalam bentuk kerajinan tangan, karpet, permadani, pakaian, tenunan, mode, tembikar, dan lain-lain.
Pada hakikatnya, seni lukis mulai dirintis pada masa Tahmasp I. Sedangkan, pada tahun 1522 M. Ismail I menghadirkan seorang pelukis bernama Bizhard ke Tabriz. Pada masa Abbas I, kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni lukis, pahat, syair, dan lain sebagainya semakin berkembang. Adapun salah satu pujangga yang terkenal pada masa ini adalah muhammad bagir bin muhammad damad (ahli pasti dan ilmu filsafat).
Kemunduran Dinasti Safawiyah
Terjadinya kemunduran pemerintahan pusat berlangsung sepeninggal Abbas I. Setelah Abbas I meninggal dunia, tidak ada seorangpun yang mempunyai visi atau kecakapan sepertinya, apalagi seusai perjanjian dengan kerajaan Turki Ustmani pada tahun 1639. Saat itu, pasukan militer safawiyah terbengkalai dan terpecah menjadi sejumlah resimen kecil. Selain itu, administrasi pusat juga mengalami perpecahan. Bahkan, beberapa prosedur penertiban pajak dan distibusi pendapatan negara menjadi tidak terkendalikan.
Dalam kondisi kerajaan yang semakin melemah, terdapat kekecewaan golongan Sunni Afganistan akibat dari perlakuan Shah Husni yang lebih mengutamakan ulama' Syi'ah yang sering memaksakan pendapat pada golongan Sunni. Maka pada tahun 1709 M. pasukan Afganistan dengan pimpinan Mir Vays mengadakan pemberontakan dan berhasil menguasai Kandahar. Di bagian lain suku Abdali Afganistan juga memberontak di Herat dan mengepung Mashar. Mir Vays diganti putranya Mir Mahmud dan ia berhasil memperkuat pendukungnya serta mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil. [12]
Melemahnya pemerintahan pusat menyebabkan terjadinya berbagai pemberontakan otoritas safawiyah. Pada abad ke-18, Iran dilanda kondisi anarkis. Adapun diantara pihak yang memperebutkan kekuasaan politik yang paling besar ialah rezim Afgan, Afshar, Zand, dan Qatar. Lantas pada tahun 1724, Ghalzai Afgan mengambil alih kekuasaan atas isfahan. Kemudian Iran diserang oleh kerajaan turki dan rusia yang berbatasan dengannya.
Adapun penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti safawiyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan turki ustmani. Berdirinya kerajaan safawiyah bermadzhab syi'ah menjadi ancaman bagi kerajaan turki ustmani
2. Terjadinya degradasi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan safawiyah. Ini turut mempervepat proses kehancuran kerajaan itu
3. Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tiidak mempunyai semangat perjuangan yang tinggi
4. Sering kali terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalanga istana
5. Lemahnya para sultan. ini sebagai akibat dari tidak adanya sistem pengkaderan yang terencana bagi calon penerus kekuasaaan, lantaran dikhawatirkan menjadi bumerang bagi raja yang mengkadernya, sekaligus mengambil alih kepemimpinan sebelum waktunya. Adapun penyebab lainya dari kelemahan mereka adalh disibukkan oleh urusan kemewahan dan mabuk-mabukkan
6. Lemahnya ekonomi. Penyebab lainnya ialah ketamakan sultan dalam mendapatkan meriam eropa, sehingga mereka membebaskan niagawa eropadari bea masuk dan keluar bagi komoditas eropa serta safawiyah. Akibatnya pemasukkan negara berkurang. Selain itu, penggunaan uang negara demi mendukung kehidupan mewah keluarga raja juga mengurangi kas negara dalam jumlah banyak, sehingga gaji tentara juga tidak terbayarkan.
Kehancuran safawiyah juga disebabkan oleh sebuah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dengan agama. Semula, safawiyah merupakan sebuah gerakan. Namun, setelah berkuasa, Safawiyah justru menekan bentuk millenarian islam sufi sembari cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan syiisme sebagai agama resmi Iran, sekaligus mengeliminir pengikut sufi mereka, sebagai mana yang dilakukan terhadap ulama sunni.
3. Kerajaan Mughal di India
India saat itu dilanda persaingan dan peperangan untuk memperebutkan kekuasaaan, sehingga India senantiasa mengalami pergantian penguasa. Kekuasaan dinasti Ghaznawi dipatahkan oleh pengikut-pengikut Ghaur Khan, yang juga berasal dari salah satu suku bangsa Turki. Mereka masuk ke India pada tahun 1175 M., dan bertahan sampai tahun 1206 M. India kemudian jatuh ke tangan Qutbuddin Aybak, yang selanjutnya menjadi pendiri Dinasti Mamuk India (1206-1290), kemudian ke tangan Dinasti Khalji (1296-1316 M) selanjutnya ke Dinasti Tughlug (1320-1413 M) dan dinasti-dinasti lain, sehingga Babur datang pada awal abad XVI dan membentuk kerajaan Mughol di India. [13]
Kemajuan-kemajuan pada Masa Kerajaan Mughal
Kemajuan-kemajuan yang pernah dicapai, di antaranya sebagai berikut:
1. Politik
Pemerintahan Mughal menganut sistem Monarchi Absolut, tidak mengenal undang-undang tertulis. Dan keputusan raja merupakan hukum tertinggi. Namun demikian setiap minggu Raja mengadakan rapat untuk membahas dan memutuskan perkara-perkara pengaduan dari rakyat, baik perdata maupun pidana. Dan untuk daerah-daerah propinsi, hal yang sama dilakukan oleh Gubernur. Apapun namanya, yang jelas lembaga musyawarah sudah ada pada tradisi penguasa-penguasa Mughal. Untuk mendekatkan hubungan dengan rakyat, paling tidak tiga kali sehari, raja memperlihatkan diri, walau hanya melalui jendela. [14]
2. Ekonomi
Dalam bidang ekonomi ini, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan. Akan tetapi sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor pertanian ini komunikasi antara pemerintah dengan petani diatur dengan baik sekali. Pengaturan itu didasarkan atas lahan pertanian. Komunitas petani dipimpin oleh seorang mukaddam. Melalu mukaddam inilah pemerintah berhubungan dengan petani. Kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian di negeri itu. Hasil pertanian Mughal yang terpenting saat itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan. [15]
3. Pendidikan dan Ilmu pengetahuan
Para penguasa keturunan Mughal juga punya perhatian di bidang pendidikan. Mereka membangun madrasah dan mendirikan perpustakaan. Maharaja-maharaja dan para bangsawan mendorong pendidikan dengan menghadiahkan tanah dan uang pada masjid-masjid dan takiah-takiah dan kepada para wali dan ulama-ulama. Semua masjid selalu mempunyai sekolah-sekolah rendah. Bahkan raja Jehangir mengeluarkan undang-undang bahwa apabila seorang kaya atau musafir meninggal dan tidak mempunyai ahli waris, maka hartanya jatuh ke tangan raja untuk digunakan bagi perbaikan madrasah-madrasah dan takiah-takiah. Syah Jehan mendirikan perguruan tinggi kemaharajaan di Delhi dan Aurangzeb mendirikan perguruanperguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Beliau juga menganugrahkan sejumlah besar tanah dan uang untuk pembangunan pusat pengajaran di Luck Now. Namun untuk pendidikan wanita, nampaknya terbatas dalam lingkungan keluarga-keluarga berada dan terpelajar saja. [16]
4. Arsitektur dan Seni
Banyak sekali bangunan-bangunan indah dan kokoh yang dibangun dengan arsitektur yang mengagumkan pada zaman zaman pemerintahan kerajaan Mughal misalnya Benteng Merah, Jama Masjid, Istana yang megah di Delhi dan Lahore dan makam-makam raja. Yang sangat mengagumkan dan termasuk satu dari tujuh keajaiban dunia adalah Tajmahal (Mumtaz Mughal), yang dibangun oleh Syah Jehan secara khusus untuk tetap mengenang dan bernostalgia terhadap permaisurinya tercinta yang konon bijak bestari dan cantik jelita bak putri dari kayangan. Di antara ciri-ciri arsitektur ini ialah pemakaian marmer yang tak terhingga jumlahnya, dan hiasan-hiasan dinding dan atap dengan ukiran-ukiran timbul dan ukiran terbenam yang warna warni. [17] Demikian juga tentang syair menyair sangat diperhatikan dan disokong perkembangannya di keraton Mughal. Raja-raja Mughal, seperti Babur, Jehangir, adalah orang-orang sastrawan besar. [18]
Kemunduran Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal memasuki masa-masa kemunduran sejak awal abad ke-18 Masehi, tepatnya sejak akhir pemerintahan Aurangzeb terjadi beberapa pemberontakan yang disebabkan oleh tindakan-tindakannya yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanisme. Ia berusaha menjadikan Islam tidak hanya sebagai " State Single Force", namun lebih dari itu, ia hendak menerapkan ajaran Islam hingga hal-hal yang detail. Ia melarang musik dinyanyikan di istana, ulang tahun raja ditiadakan, astrologi dilarang. Dan minuman anggur dihancurkan. Kebikjaksanaan Aurangzeb ini menyebabkan banyak rakyat yang marah walaupun tidak mengakibatkan adanya pemberontakan. Yang lebih tragis adalah dilarangnya hal-hal yang berbau Hindu dari kegiatan masyarakat, diterapkannya kewajiban membayar pajak (taksasi) bagi orang-orang Hindu, dan dihancurkannya tempat-tempat peribadatan mereka. Tiga hal terakhir ini tidak hanya menyebabkan orangorang Hindu marah kepadanya, tapi menyulut timbulnya pemberontakanpemberontakan dari mereka. [19]
Pemberontakan pertama dilakukan oleh Gokal Jat di daerah sekitar Mathawa. Pemberontakan ini bermula dari dihancurkannya candi Hindu oleh Abd. Al-Nabi, seorang gubernur Mathawa yang mendapat perintah dari Aurangzeb, yang kemudian candi itu diganti dengan masjid pada tahun 1661 - 1662 M. setelah pemberontakan ini berhasil ditumpas, muncullah pemberontakan-pemberontakan lain dengan motif yang sama. Pemberontakan yang paling berbahaya berasal dari sekte Maratas. Sekte ini tidak sekedar merupakan kelompok keagamaan tapi juga merupakan gerakan politik, yang secara tegas bertujuan untuk menggusur orang-orang Islam dari negeri mereka. Di antara faktor yang menyokong kekuatan mereka adalah: • Gerakan ini dipimpin oleh seorang yang bernama Shiivaji. Ia berjiwa militer, tangguh dan terampil dalam peperangan di samping juga mahir dalam hal administrasi.
• Kondisi alam di mana mereka tinggal telah membentuk fisik dan mental mereka menjadi kuat dan penuh disiplin.
• Ajaran Maratas yang bersifat populis dan comunal sentris menjadikan para pengikutnya bersemangat besar dalam memperjuangkan gerakannya. Gerakan Maratas ini tetap bertahan hingga Aurangzeb wafat pada tahun 1707 M. [20]
Faktor-Faktor Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Mughal
Faktor-faktor penyebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Mughal dapat dipaparkan sebagai berikut: [21]
1. Perebutan Kekuasaan antara Putera Mahkota Perebutan tahta kerajaan di antara putera mahkota sebenarnya telah terjadi ketika Aurangzeb belum menjadi raja. Ketika Syah Jehan meninggal dunia tahun 1657 M, ia meninggalkan empat orang putera yang semuanya sudah dewasa, yaitu Darah Shikoh berusia sekitar 43 tahun. Shujah 41, Aurangzeb 39, dan Murad berusia 33 tahun. Mereka saling berperang dan kesemuanya mati di tangan saudaranya sendiri kecuali Aurangzeb yang keluar sebagai pemenangnya. Peristiwa serupa juga dialami oleh anak-anak Aurangzeb. Ketika Muazzam yang kemudian bergelar Bahadur Syah diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya, saudara-saudaranya yang lain yaitu Azim (Prince Sultan), Akbar, dan Kam Bakhs berselisih satu sama lain. Dalam perang saudara ini yang keluar sebagai pemenangnya adalah Muazzam sehingga daerah-daerah yang semesetinya dikuasai oleh saudara-saudaranya dikuasai oleh dirinya sendiri. Demikian pula pada masa Azimus Syah, anak dan pengganti Bahadur Syah, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana tersebut lambat laun membawa kerajaan Mughal pada kondisi yang semakin melemah. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau "kasar" dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya.
2. Terjadi Stagnasi dalam Pembinaan Kekuatan Militer Kalau jaman kemajuannya, bangsa Mughal unggul di bidang militer, di samping politik dan kesenian, maka pada masa-masa akhir kerajaan ini mengalami stagnasi kekuatan militer. Hal ini antara lain disebabkan oleh terpecah belahnya kekuatan yang disebabkan perang saudara dan banyaknya prajurit yang terbunuh dalam peperangan itu, kondisi politik negara yang tidak menentu, dan lemahnya para Sultan dalam mengendalikan roda pemerintahan. Kemerosotan kekuatan militer ini menyebabkan operasi militer Inggris baik yang melalui laut maupun darat tidak dapat segera dipantau, sehingga mereka dapat menanamkan kekuasaannya di pantai-pantai India dan kemudian meluas ke daerah-daerah yang lain. Di samping itu, dengan kekuatan militer yang lemah itu, pemerintah pusat tidak mampu mengendalikan daerah-daerah yang melepaskan diri dari kekuasaannya. Kondisi demikian menyebabkan kerajaan Mughal semakin lama semakin lemah.
3. Daerah Kekuasaan yang Luas Faktor luasnya daerah kekuasaan juga merupakan salah satu penyebab sulitnya emperium ini dipertahankan. Apalagi pemerintahan mereka menganut sistem sentralisasi. Dan tidak ditunjang oleh alat komunikasi yang memadai. Kedudukan raja di delhi yang terletak di pusat secara geografis jauh sekali dari daerah-daerah utara dan selatan. Hal ini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ditunjang oleh oleh tiadanya angkatan laut yang memadai sehingga membawa kerajaan yang besar ini ke jurang kemunduran dan kehancuran pada akhirnya.
4. Kemerosotan Moral dan Hidup Mewah di Kalangan Elit Politik Setelah Bahadur Syah, pengganti-penggantinya hidup berfoya-foya dan senang kemewah-mewahan. Kondisi demikian membawa pada kehidupan Sultan kurang memperhatikan masalah-masalah kenegaraan, bahkan demi kesenangan dan kehidupan mewah, seperti yang dilakukan oleh Akbat II, pihak asing diizinkan mengembangkan kekuasaannya di India. Hal ini membuat orang-orang Inggris di India semakin kuat dan sebaliknya Sultan India semakin lemah. Sebab walaupun secara de jure ia diakui memerintah tapi secara de facto, pemerintahan berada di tangan Inggris. Di samping itu, kehidupan mewah dan kemerosotan moral tersebut mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara, sehingga hal-hal yang seharusnya ditangani dengan budget negara jadi terabaikan, termasuk biaya untuk peralatan perang dan pertahanan.
5. Lemahnya para Pemegang Tahta Kerajaan Para Sultan setelah Aurangzeb tidak mampu mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh Sultan-Sultan sebelumnya. Kapasitas mereka untuk memimpin suatu negara kecil sekali, sehingga jangankan mengembangkan, mempertahankan kemajuan yang tekah dicapai oleh pendahulu mereka, mereka tidak mampu.
Kerajaan-kerajaan kecil masa pemerintahan bani Abbas
1. Dinasti Umayyah di Spanyol
Propinsi pertama yang terlepas dari kekuasaan Baghdad adalah Dinasti Umayyah yang ada di Spanyol. Lima tahun setelah dinasti Abasiyyah berdiri, seorang keturunan Bani Umayyah yang selamat dari pembantaian massal berhasil mendirikan kekuasaan yang hebat pada tahun 756 M di Cordova Spanyol. Dengan cara ini ia melepaskan kekuasaan dari Baghdad. [22] Selama beberapa tahun sebelum 750 M di Spanyol terjadi pertempuran antara berbagai kelompok Arab dan Barber. Tahun 755 M diketahui ada pangeran muda cucu khalifah Hisyam yang bernama Abdurrahman berada di Gibraltar Afrika Utara. Oleh para pendukung ia dibawa ke Spanyol dan berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Selama tiga puluh dua tahun pemerintahnnya baru mengalami stabilitas. Kemudian dilanjutkan oleh keturunannya sampai tahun 1031 M. [23] Meskipun Spanyol menentang kendali pusat, namun sebenarnya setelah ditinggal Abdurrahman I kekuasaan para Amir atas berbagai propinsi (daerah) kurang kuat, meskipun banyak penduduk Hispano Roman yang masuk Islam (Muwalladun) tetapi banyak pula yang berpaling ke utara ke Kristen untuk mendapatkan dukungan moral dan religius. Khususnya Toledo ibu kota Visigoth. Di antara kaum muslim juga ada pangeran setempat yang kekuatannya memungkinkan mereka terlepas dari Cordova. Meskipun lemah dan kerajaan-kerajaan Kristen di utara tetap merdeka, Bani Umayyah Spanyol menjadikan Cordova sebagai pusat perdagangan dan industri yang penting dan sebagai rumah ilmu dan kebudayaan Arab. [24] Oleh karena itu, kerajaan pecahan dari Dinasti Umayah yang ada di Damaskus itu muncul karena ada konflik dan sebagian orang yang pemberani kabur untuk menyelamatkan diri dan berusaha untuk mendirikan Dinasti Umayah II.
Pada abad ke sepuluh dinasti ini mengalami kejayaannya dengan menegakkan monarki. Dia menghadapi musuhnya yaitu orang-orang Fatimiah dengan cara memberi gelar "Amir Al Mu'min". Kekuatannya di bidang militer dibangun dengan merekrut orang-orang Barber dari Afrika dan budak yang dibawa dari segenap penjuru Eropa Kristen (Shaqailiba). Pada tahun-tahun terakhir daripada abad ke sepuluh kekuasaan berpindah ke tangan hijab (pendana menteri). Pada awal abad ke sebelas Bani Umayyah Spanyol akhirnya sirna pada tahun 1031 M. sebelumnya juga telah terjadi selang seling dengan pemerintahan keluarga Hammudiyah, Malaga, Aglecires. Setelah tahun 1031 M Spanyol yang muslim mengalami perpecahan politis. [25] Jadi, banyaknya persaingan yang dasyat dengan menghadapi Dinasti Fathimiyah yang mempunyai pasukan yang kuat, akhirnya Dinasti ini mengalami kehancuran.
2. Dinasti Rustamiyah
Segera setelah terlepasnya Spanyol timbul pula pemberontakan di Tripolitania yang didasarkan pada teologi yang mengakhiri Abasiyyah atas sebagian besar Afrika Utara. Dalam tahun 752 beberapa suku Barber dari Jabal Nefusa, yang menganut paham Khawarij yang bersekte Ibadiyah sebagai ekspresi anti Arab, menduduki Tripoli dan tahun berikutnya Cairun. [26]
Gubernur Abasiyyah untuk Mesir terpaksa mengirim ekspansi ke barat sebelumberhasil merebut Cairun kembali tetapi tidak berhasil menegaskan kekuasaannya lebih jauh lagi. Setelah beberapa lama berada di Cairouan (Qayrawan) pusat ortodoksi dan kekuatan Arab di Magrib, sekelompok orang ibadiyah pergi ke Aljazair Barat dipimpin oleh Abdurrahman Bin Rustam. Dia adalah keturunan Persia. Dia mendirikan basis Kharijiyyah di Tahert pada tahun 761 M. Pada tahun 777 M dia menjadi Imam kaum Ibadiyah di Afrika Utara. Pusat yang berada di sekitar Taher ini berhubungan dengan kaum Ibadiyah di Aures, Tripolitania, dan Tunisia Selatan kelompok kelompok di selatan seperti yang ada di oasis Vezan mengakui kepemimpinan spiritual imam-imam Rustamiyah. Kekuasaannya dilanjutkan oleh keturunannya sampai datangnya kekuasaan Fatimiah pada tahun 909 di bawah Rustamiyah, Tahert mengalami kemakmuran material yang luar biasa, menjadi terminal di utara dari salah satu Rute kafilah Trans-Sahara, dan sampai dinamakan Irak Kecil. Tahert mengikat penduduk yang kosmopolitan di antaranya adalah kelompok-kelompok Parsi dan Kristen. Selain itu Tahert juga menjadi pusat kesarjanaan. Perang historisnya yang besar adalah menjadi tempat kerkumpul dan pusat saraf Kharijiyah di seluruh Afrika Utara bahkan di luar Afrika Utara. Rustamiyah keberadaannya dikelilingi oleh musuh-musuh yaitu Idrisiyyah yang syi'ah di barat dan Aglabiyah yang Sunni di timur oleh karena itu Rustamiyah bersekutu dengan Umayyah Spanyol bahkan menerima subsidi dari mereka namun bangkitnya Fatimiah yang Syi'ah di Maroko berakibat fatal bagi Rustamiyah sebagaimana dinasti-dinasti lokal yang lain di Magrib. Bahkan pada tahun 909 M Tahert jatuh ke tangan Fatimiah. [27] Kehancuran Dinasti ini juga sama dengan Dinasti Umayah II yakni dikarenakan adanya serangan dari Dinasti Fathimiyah.
3. Dinasti Idrisiyyah
Pada tahun 785 M Idris bin Abdullah yang sebelumnya berpartisipasi dalam pemberontakan Fakh di Madinah gagal, melarikan diri ke Maroko berhasil mendirikan negara kecil Bani Idrisiyyah. Dia termasuk keturunan Nabi cucu dari Hasan. Dia diterima sebagai pemimpin oleh sekelompok barber. [28]
Dinasti bertahan kurang lebih 2 abad (788-974 M) dinasti ini mengambil Fez sebagai ibu kota negara sebuah kota yang dekat daerah Roma dahulu. Idrisiyyah adalah dinasti pertama yang berupaya memasukkan doktrin Syi'ah meskipun dalam bentuk yang sangat lunak ke Magrib. Sebelum masa mereka wilayah itu didominasi oleh ekualitarianisme (egalitarianisme) radikal Kharijiah. Pada masa itu Fez (ibu kota negara) segera padat pendudukya, menarik imigran-inmigran dari Spanyol dan Ifrigia di samping itu Fez juga berfungsi sebagai kota suci, rumah Sorfakh atau keturunan istimewa kedua cucu Nabi (Hasan dan Husen). Sorfakh merupakan faktor penting dalam sejarah Maroko. Periode Idrisiyyah juga penting bagi penyebaran kultur Islam di kalangan masyarakat Barber, namun selama pemerintahan Muhammad Al-Muntasyir berbagai wilayah kekuasaan itu terpecah secarapolitis berbagai kota mereka dibagikan kepada saudara Muhammad yang banyak jumlahnya. Dengan demikian kekuatan mereka jadi lemah, musuh-musuh semakin giat menyerang mereka. Hingga pada masa Yahya IV terpaksa harus mengakui kekuasaan Mahdi Ubaidillah, pada tahun 921 M Fez diduduki oleh tentara Fatimiyyah. Tetapi itu bukan berarti akhir Dinasti Idrisiyyah, karena kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa bagian karena tekanan dari suku-suku Nomad Berber dan beberpa bagian sanggup mempertahankan diri samapi setengah abad lagi. Syiahisme mereka tidak lebih pada kharisma Shorfah, seorang keturunan dari Hasan dan Husen. [29] Oleh karena itu, Dinasti ini mempunyai saingan yang ketat dalam masalah politik.
Idrisiyyah terancam ketika Umayyah Spanyol menerapkan kebijaksanaan di Magrib (Afrika Utara) yang menentang Fatimiyyah. Pada tahun 974 M keluarga terakhir Idrisiyyah dibawa ke Cordova. Pada periode kebobrokan Umayyah Spanyol sekitar tiga atau empat dasa warsa kemudian keluarga jauh Idrisiyyah, yaitu: Hamudiyah berkuasa di Agleciras dan Malaga. Memerintah di sana sebagai salah satu keluarga Taifa. Dinasti Idrisiyyah di Maroko dinyatakan berakhir pada tahun 974 M. hal ini karena dinasti ini harus tunduk pada Dinasti Umayyah Spanyol pada tahun tersebut. [30]
4. Dinasti Aghlabiyyah
Dinasti Aghlabiyyah tidak disangsikan lagi hilangnya (lepasnya) propinsi-propinsi yang direbut oleh Bani Rustam dan Idris serta kesulitan dalam mengendalikan kaum Barber, menyebabkan dinasti Abbasiyyah melakukan perubahan politik yang menghasilkan terbangunnya Dinasti Aghlabiyyah. [31]
Pada tahun 800 M, Ibrahim diberi Propinsi Ifrigiyyah (Thunisia) oleh Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar. Pemberian ini meliputi hak-hak otonomi yang besar. Dia boleh mewariskan kepada puteranya serta keturunannya. Karena letaknya sangat jauh dari Baghdad maka Aghlabiyyah tidak terusik oleh pemerintahan Baghdad. Penguasa Aghlabiyah pertama (Ibrahim) berhasil memadamkan gejolak Kharijiyyah berber di wilayahnya. Kemudian dibawah Ziyadatullah I, salah seorang dari keluarga Aghlabiyyah yang amat cakap dan energik dimulai proyek besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium pada tahun 827 M. [32] Suatu armada bajak laut dikerahkan sehingga membuat Aghlabiyyah unggul di meditarial tengah dan membuat mereka mampu mengusik pantaipantai Italia Selatan, Sardina, Coersica, dan bahkan Meritime Alp. Makta direbut pada tahun 868 M barangkali penaklukan atas Sisilia dimulai agar dapat mengalahkan energi fanatis ke Jihad melawan orang-orang kafir. Sebab penguasa Aghlabiyyah pertama harus meredakan oposisi di Qairawan. [33] Pada tahun 878 M sempurnalah sudah penguasaan atas Sisilia, kemudian pulau itu berada di bawah pemerintahan muslim Aghlabiyyah. Pulau itu menjadi pusat penting bagi penyebaran kultur Islam ke Eropa yang kristen. Pada zaman Ziyadatullah I membangaun kembali masjid Qairawan dan diselesaikan oleh Ibrahim II. Pengaturan antara pemerintahan pusat (Baghdad) dan dinasti Aghlabiyah sangat menguntungkan bagi Baghdad. Mereka tidak pernah bahkan tidak harus bertanggung jawab bagi ketertiban propinsi dan pertahanannya dari tetangganya di sebelah barat tetapi Baghdad tetap memperoleh upeti tahunan sebagaimana telah dijanjikan sebelumnya. Dan akhirnya posisi Aghlabiyyah di Ifrigia menjadi merosot menjelang akhir abad 9. Propaganda Syi'i Abu Abdullah perintis Fatimiah, Mahdi Ubaidillah memiliki pengaruh yang kuat di kalangan Barber utama, hal ini menimbulkan pemberontakan militer dan penguasa terakhir Aghlabiyyah, Ziyadatullah III diusir ke Mesir pada tahun 909 M setelah ia berupaya mendapatkan bantuan dari Baghdad. [34]
5. Dinasti Thuluniyah ( 868- 901 M )
Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Ahmad Ibn Thulun seorang prajurit Turki. Seperti orang- orang Turki lainnya, ia memperoleh peluang besar untuk menjabat di lingkungan istana. Ayah Ibn Thulun menjabat sebagai komandan pegawai istana. Ibn Thulun sudah barang tentu dibesarkan di lingkungan militer yang keras dan ketat. Inilah yang melatarbelakangi garis politik Ibn Thulun selanjutnya. [35]
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang gagah dan berani, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syariat dan militer. [36] Oleh karena itu, Ibnu Thulun ialah seorang yang memang sangat dapat diandalkan dalam menjalankan tugas dikarenakan mulai dari kecil ia telah diberi pendidikan khusus dari orang tua, sehingga dia menjadi orang yang mempunyai disipilin ilmu yang mantap. Namun, pencapain tersebut juga bersumber dari kemauan yang keras dari dalam dirinya.
Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. [37] Kemudian, pada abad ke 9 Masehi menjadi kebiasaan para wali (gubernur) untuk tetap tinggal di istana Baghdad, sementara tugasnya dilaksanakan oleh para wakilnya. Tahun 868 M, Ibn Thulun dikirim ke Mesir sebagai wakil wali. Karena ia bekerja secara efisien, populer dan bersedia tinggal di Mesir maka para gubernur Mesir berikutnya tidak menggantikannya. Pada tahun ini dia resmi diangkat oleh khalifah al-Mu'taz sebagai wali Mesir. Di saat Baghdad mengalami krisis yang menyebabkan khalifah al- Mu'taz meninggal, Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. [38] Jadi, suatu keadaan yang baik dimanfaatkan oleh seorang yang pemberani itu, benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik mungkin agar suatu wilayah tersebut dapat dikelola dengan baik.
Dalam membangun negerinya mula-mula ia menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Setelah situasi relatif stabil, beralihlah perhatiannya kepada pembangunan bidang ekonomi, irigasi diperbaiki, pertanian ditingkatkan, perdagangan digiatkan sehingga pemasukan meningkat. Kemudian dalam bidang keamanan dia membangun angkatan perang dari oarng- orang Turki Negro dan lainnya. Dengan kuatnya militer, Ibn Thulun melakukan ekspansi ke Syam. Setelah Ibn Thulun, kepemimpinan Mesir dilanjutkan oleh keturunannya, Khumarawaih, Jaisy, Harun dan terakhir Syaiban. Di bawah kepemimpinan Khumarawaih, dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Khalifah al Mu'tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah kekuasaan pada Thuluniyah meliputi Mesir, Suriah, sampai gunung Taurus dan Mesopotamia, kecuali Mosul. Untuk menjalin hubungan baik dengan pemerintah Abbasiyah, khalifah al Mu'tadid dinikahkan dengan putri Khumarawaih.
Pada akhir pemerintahan Khumarawaih dinasti ini tampak mulai melemah karena kemewahan hidup Khumarawaih sendiri dan ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Setelah dia meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh putranya, Jaisy yang hanya memerintah satu tahun. Jaisy digulingkan oleh saudaranya, Harun yang kemudian memerintah selama sembilan tahun. Kemudian Harun tewas ketika meletus pemberontakan di Mesir. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya memerintah beberapa bulan. Pada tahun ini juga dinasti Thuluniyah kembali direbut oleh pemerintahn Abbasiyah. Ketidakmampuan wali terakhir Thuluniyah mengendalikan sekte-sekte Qaramithi di gurun Syiria membuat khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syiria dan kemudian merebut Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad. Setelah ditaklukkan , dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur. [39] Jadi, kemunduran dinasti dikarenakan suatu sistem yang kurang baik dan adanya sifat buruk yang bersumber dari diri seseorang, dikarenakan pendidikan agama yang kurang maksimal.
Sebelum itu, Dinasti Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya peradaban Islam.
Contoh kemajuan prestasi dinasti Thuluniyah adalah dalam bidang arsitektur,
telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah
sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan
istana al Khumarawaih dengan balairung emasnya. Kemajuan prestasi bidang
lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000 prajurit
yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa
Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di atas pulau ar- Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi sebagai
sarana pertanian.
6. Dinasti Iksidiyah ( 935- 965 M )
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammad Ibn Tughi adalah perwira Turki yang diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaaan wilayah Nil dari serangan Fatimiyah yang berpusat di Afrika Utara. [40]
Strategi pertama yang ia lakukan adalah memperkokoh angkatan perang dan mengajukan permohonan perluasan wilayah kekuasaan dengan syarat dia tetap tunduk dan setia pada Baghdad. Akhirnya, permohonan tersebut dikabulkan. Dia diberi wewenang wilayah Syam, disamping semakin memperoleh kepercayaan, baik dari masyarakat maupun khalifah karena keberhasilannya dalam mengembangkan perekonomian rakyat dan mengatasi gerakan Fatimiyah. Sewaktu Iksidi wafat, kedua putranya belum dewasa. Oleh karena itu, kekuasaan dilimpahkan kepada gurunya, Kafur al Ikhsidi. Kafur memproklamirkan diri sebagai wali. Berkat kepandaian Kafur, gerak maju Fathimi di sepanjang pantai Afrika Utara dapt ditahan, begitu pula dinasti Hamdani di Syiria Utara. Hanya setelah meninggalnya Kafur, Iksidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu al Fawarisaris Ahmad Ibn Ali yang menerima tahta setelah Kafur tidak bertahan lama karena kepemimpinannya yang sangat lemah. Sehingga serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Fatimiyah terhadap pemerintahnnya membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Sehingga dinasti ini dapat ditaklukkan oleh Fatimiyah.
Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi- diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Juga dibangun sebuah pasar buku besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin. Lahir pula ilmuwan besar seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri, Muhammad Ibn Walid al Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah Istanaal Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri, di samping itu didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan al Ikhsidi.
7. Dinasti Hamdaniyah ( 972- 1152 M ).
Pada waktu dinasti Ikhsidiyah berkuasa di sebelah utara Mesir muncul pula dinasti lain sebagai saingannya, yaitu dinasti Hamdaniyah. Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib. Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh khalifah Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum khawarij unutk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya (Husain) Ibn Hamdun diampuni. Putranya yang bernama Al Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Mousul oleh khalifah Al Muktafi pada tahun 905 M. [41]
Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mosul dan wilayah kekuasaan di Halb (Aleppo). Wilayah kekuasaan di Aleppo, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu Pengetahuan. Pada masa itu pula muncul tokoh- tokoh cendekiawan besar seperti Abi al Fath dan Utsman Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib al Mutannabi, abu Firas Husain Ibn Nashr ad daulah, Abu A'la al Ma'ar i, dan Syaif ad Daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al- Farabi.
Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan di Mosul beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang diberi gelarNashir ad Daulah dan Ali Ibn Haija yang bergelar Syaif ad Daulah . Syaif ad Daulah inilah yang berhasil menguasai daerah Halb dan Hims dari kekuasaan dinasti Ikhsidiyah yang kemudian menjadi pendiri dinasti Hamdaniyah di Halb (Aleppo).
Mengenai jatuhnya dinasti ini terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan destruktif tetap ia jalankan sehingga rakyat menderita. Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari invasi serangan Bizantium yang energik sehingga Aleppo dan Himsh terlepas dari kekuasaannya. Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiyah ke Suriah bagian selatan, sampai mengakibatkan terbunuhnya Said ad Daulah yang tengah memegang tampuk kekuasaan Hamdaniyah. Hingga dinasti ini jatuh ke tangan dinasti Fatimiyah. [42]
Kebanyakan dinasti-dinasti kecil di era Abbasiyah ini mempunyai persaingan yang ketat dalam bidang kekuasaan wilayah, politik, sosial, kebudayaan maupun dalam bidang keagamaan. Namun, semua persaingan itu mengarahnya pada kondisi sosial dan ekonomi yang ada di Spanyol, Mesir dan lain-lain. Dan kehancuran masing-masing kerajaan banyak dipengaruhi oleh faktor politik. Disamping itu juga, faktor internal yakni perang antar saudara (keturunan) juga sangat memengaruhi kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang berada di wilayah dinasti tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Zakki. Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Rizem, Azid. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta : Diva Pres
Bosworth, C.E.. Dinasti- Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1993
Hakim, Moh. Nur. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang : UMM Press, 2004
K. Hitti, Philip. History of Arabs (terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2008
Lapidus, Ira M.. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000
Amin Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2014
Fuad, Zakki. Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2016
[1] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal. 180.
[2] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal.183
[3] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal.184.
[4] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal. 186
[5] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 478
[6] Badri Yatim. Sejarah Peradabab Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 133-138
[7] Badri Yatim. Sejarah Peradabab Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 133-138
[8] Badri Yatim. Sejarah Peradabab Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 163
[9] Badri Yatim. Sejarah Peradabab Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 163-169
[10] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) hal. 194
[11] Drs.Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 189
[12] Ahmad Syal abi, Sejarah Islam.. hal. 144 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 160
[13] Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya..hal.56-79 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014) hal. 161
[14] Ishwari Prasad, A Short History of Moslem Rule in India (Allahabad: The Indian Press, 1936), hal.360 dalam buku 165
[15] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 165
[16] Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, terjemah Abu Salamah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 339 dalam 166
[17] Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, terjemah Abu Salamah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 339.
[18] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 166
[19] C.Eric Lincoln, Mughul Dynasty dalam Encyclopedia Amricana, Cananda, 1978, hal.605 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016) hal. 167
[20] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 168
[21] Ishwari Prasad, op cit. hal.568-574 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 168
[22] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal.134
[23] Montgomery Watt, Kejayaan Islam…….hal. 152 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016) hal. 135
[24] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 135
[25] Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, (Trj) Mizan, Bandung, 1980, hal. 33-34 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 135
[26] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 136
[27] Boswort, Dinasti…..hal. 45 dalam buku Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 136
[28] Fuad, Sejarah Peradaban Islam...............hal. 137
[29] Fuad, Sejarah Peradaban Islam....................hal. 138
[30] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 138
[31] Fuad, Sejarah Peradaban Islam...............hal. 139
[32] Montgomery Wat, Kejayaan Islam…hal. 109 dalam buku Fuad, Sejarah Peradaban Islam...............hal. 139
[33] Bosworth, Dinasti…….hal. 452. Dalam buku Fuad, Sejarah Peradaban Islam...............hal.139
[34] Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2016), hal. 139
[35] Moh. Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 81
[36] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 452
[37] C. E. Bosworth, Dinasti Dinasti Islam ( Bandung: Mizan, 1993), hal. 67
[38] Moh. Nur Hakim. Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), hal. 82
[39] Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 166
[40] Dedy supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), hal.166
[41] Moh. Nur Hakim. Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), hal.167
[42] C. E. Bosworth. Dinasti- Dinasti Islam ( Bandung: Mizan, 1993) hal. 75
Download File Dinasti-dinasti Kecil masa bani Abbas dan Kerajaan pasca Dinasti Abbasiyah (Format Doc.)
*Note !! : Format penulisan dalam file telah diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku
ConversionConversion EmoticonEmoticon