ALI BIN ABI THALIB
Biografi Ali Bin Abi Thalib
Dia bernama Ali bin Abu Thalib (nama aslinya adalah Abdu Manaf) bin Abdul Muthalib. Konon beliau juga bernama Syibah Al-Hamd bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khizaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin 'Adnan. [1]
'Ali bin Abi Thalib, adalah salah seorang pemeluk islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Ali adalah sepupu dan sekaligus mantu nabi Muhammad, setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah seorang khalifah pada tahun 656 sampai 61.
Beliau putra paman Rasulullah saw. yang urutan silsilah nasabnya bertemu dengan Rasulullah saw. pada kakeknya yang pertama, yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Bapaknya bernama Abu Thalib, saudara kandung Abdullah, ayahanda Rasulullah saw.
Nama kecil Ali r.a. adalah Asad. Ini merupakan nama pemberian ibunya yang diambil dari nama bapaknya, yaitu Asad bin Hasyim. Nama kecil Ali ini diketahui dari syairnya yang ber-bahar rajaz yang beliau dendangkan pada peristiwa Khaibar. Ia berkata:
Akulah Haisarah, sebuah nama pemberian bunda
Nama singa hutan yang seram wajahnya [2]
Nama ini diberikan oleh ibundanya tanpa sepengetahuan ayahandanya, karena ketika itu sang ayah sedang bepergian. Ketika pulang dan diberitahukan tentang nama anaknya, ia tidak setuju lalu menggantinya dengan nama Ali.
Riwayat yang menjelaskan dan menentukan tahun kelahiran Ali sangat banyak dan beragam. Al-Hasan Al-Basri berpendapat, Ali r.a. lahir pada tahun 15 atau 16 tahun sebelum bi'tsah, Ali lahir pada tahun 10 sebelum bi'tsah. Pendapat ini diunggulkan oleh Ibnu Hajar.
Dalam hal ini Al-Baqir Muhammad bin Ali menyebutkan dua pendapat; pendapat pertama adalah sebagaimana pendapat Ibnu Ishak yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar, yaitu Ali lahir pada tahun 10 sebelum bi'tsah. Sedangkan pendapat kedua, Ali lahir pada tahun 5 sebelum bi'tsah.
Al-Fakihy menyebutkan, "Ali adalah putra pertama Bani Hasyim yang lahir di lubang Ka'bah. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Hakim, "Banyak hadits mutawatir menyebutkan bahwa Ali lahir di lubang Ka'bah."
Meninggal: 29 Januari 661 M, Masjid Agung Kufah, Kufah, Irak.
Tempat peristirahatan: Najaf, Irak
Dikenal atas: Sahabat dan sepupu Nabi Muhammad
Pasangan: Umamah binti Zainab (m. ?-661 M), Fatimah az-Zahra (m. ?-632 M), Fatimah binti Hizam), Asma binti Umays
Anak: Husain bin Ali, Abbas bin Ali, Hasan bin Ali, Zainab binti Ali, Ummi Khultsum bin Ali, Muhammad bin al-Hanafiyah, Muhsin bin Ali, Muhammad al-Awsat bin Ali, Umar bin Ali, Utsman bin Ali, jafar bin Ali, Abdullah bin Ali, Ubaid Allah bin Ali, Abi Bakr bin Ali, Awn bin Ali, Ruqayah binti Ali, Musa bin Ali, Khadija binti Ali, Yahya bin Ali, Jumana bin Ali, Um al-Kiram binti Ali, Ramla binti Ali, Um Hani binti Ali, Um Salma binti Ali, Um Jafar bin Ali, Um Jafar binti Ali, Umamah binti Ali, Nafesa binti Ali, Um al-Hasan binti Ali, Maymunah binti Ali, Muhammad al-Asghar bin Ali, Fatimah binti Ali.
Pembaiatan Ali bin Abi Thalib
Ali r.a. dibai'at menjadi khalifah dengan cara pemilihan. Yaitu setelah syahidnya sang khalifah Utsman bin Affan r.a. di tangan para pembelot yang datang dari berbagai penjuru beberapa daerah yang berbeda-beda, dan beberapa kabilah yang beragam. Sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak meninggalkan sedikitpun kebaikan pada agama. Yaitu setelah mereka berhasil membunuh secara zalim, dusta dan penuh permusuhan. Tepatnya pada malam Jum'at, 18 Dzulhijjah tahun 35 H. [3] Kemudian para sahabat yang masih tinggal di Madinah segera mengangkat dan membai'at Ali r.a. sebagai khalifah. Karena tidak ada lagi yang lebih utama secara mutlak ketika itu selain Ali r.a. Maka tidak seorangpun yang berani mengklaim kekhilafahan itu untuk dirinya setelah Utsman bin Affan. Demikian juga dengan Abu Sabthain r.a. tak sedikitpun ia mengingkinkan jabatan itu. Untuk itu, ia menolak pembai'atan tersebut kecuali setelah dipaksa oleh para sahabat yang masih tersisa di Madinah. Dan juga karena khawatir akan terjadi fitnah yang lebih besar dan lebih lebar.
Sebagian ulama meriwayatkan proses berlangsungnya pemilihan Ali r.a sebagai khalifah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Khallal dengan sanadnya yang sampai kepada Muhammad bin Al-Hanafiyah, ia berkata "Ketika Utsman bin Affan r.a. dikepung oleh para pembelot, aku sedang bersama Ali r.a. Kemudian ada seseorang menemuinya seraya memberitahu, "Sesungguhnya, sekarang ini Amirul Mukminin telah terbunuh." Seketika Ali r.a. berdiri begitu juga aku, segera bangkit mengambil posisi menghadang Ali karena kami sangat mengawatirkannya. Akan tetapi, ia malah berkata "Biarkan aku, tiada ibu bagimu (sebuah ungkapan yang bernada celaan)." Setelah itu ia langsung bergegas menuju rumah Utsman. Ternyata benar, Amirul Mukminin telah dibunuh oleh seseorang. Lantas ia balik ke rumahnya, masuk dan menutup pintunya serta menutup dirinya di dalamnya."
Sebentar kemudian beberapa orang sahabat menyusul Ali ke rumahnya, mengetuk-ngetuk pintunya dan berkata, "Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh, sedangkan kaum muslimin harus memiliki seorang khalifah. Kami tidak melihat seseorang yang lebih layak dan lebih berhak dengan kekhalifahan itu selain Anda." Kemudian Ali berkata kepada mereka, "Janganlah kalian memilih, cukuplah aku sebagai pemateri pembantunya. Karena itu pilihlah untuk diriku seorang Amir bagi kalian." Akan tetapi, mereka tetap berkata, "Demi Allah, tidak, kami tidak melihat seseorang yang lebih layak selain Anda." Lalu Ali berkata, "Jika kalian tetap menolak, maka baiklah, tapi syaratnya acara pembai'atanku ini tidak dilakukan secara rahasia melainkan aku akan keluar menuju masjid dan di sanalah nanti kalian membai'atku." Kemudian ia keluar menuju masjid, setelah itu seluruh kaum muslimin berduyun-duyun mambai'atnya." [4]
Beberapa pelajaran, ibrah dan faidah dari beberapa atsar ini:
1. Sesungguhnya Ali ra adalah orang yang paling layak dan paling berhak memegang kendali kekhilafahan ketika itu.
Buktinya adalah beberapa sahabat yang hanya menginginkannya bahkan memaksanya agar menerima untuk dibai'at. Selain itu, mereka juga terus-terang mengatakan, "Bahwa mereka tidak menemukan orang yang lebih berhak memegang kendali khilafah ini selain Ali.
2. Kezuhudan Ali ra
Dimana ia sama sekali tidak menginginkan, meminta apalagi tamak terhadap kursi kekhalifahan. Bahkan ketika itu ia mengurung diri dalam rumahnya hingga akhirnya para shahabat itu mendatanginya dan memintanya agar mau dibai'at sebagai khalifah pengganti Utsman.
3. Pertolongan dan pembelaan Ali r.a. kepada Utsman bin Affan r.a.
Secara metawatir hal ini telah diriwayatkan dari Ali r.a. bahkan ia adalah pribadi yang paling kuat membela Utsman bin Affan, sebagaimana yang disebut dalam beberapa sanad, juga telah dipersaksikan oleh Marwah bin Hakam, ia berkata, "Tiada diantara kaum itu yang paling tegar membela dan melidungi shahabat kita ini (Utsman) selain shahabat kalian (Ali r.a.)
Kelayakan Ali Menjabat Sebagai Khalifah
Manusia yang paling berhak memegang kendali Khilafah setelah Abu Bakar Umar dan Utsman adalah Ali bin Abu Thalib. Ini adalah keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Setiap muslim wajib menyakininya dan dalam beragama kepada Allah, yang mana urusan urutan khilafah rasyidah adalah bagian dari kehendak Allah Ta'ala.
Isyarat akan kelayakan Ali dalam memegang kendali Khilafah telah ada dalam beberapa Nash syariat. Diantaranya adalah:
1. Kelayakan Ali dalam menentukan kelayakan Ali dalam memegang kendali kekhilafahan adalah bahwasanya Ali adalah salah satu dari mereka yang dijadikan Allah berkuasa di bumi yang mana Allah telah meneguhkan bagi mereka agama mereka.
Firman Allah swt, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa." (An-Nur:55)
2. Ali adalah salah satu dari khilafah'urrasyidin yang mendapatkan petunjuk, senantiasa memerintahkan yang makrif dan melarang yang mungkar. Selalu menjaga hokum-hukum had Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan senantiasa meniti jalan Rasulullah saw dalam keadilan dan menegakkan kebenaran.
Sabda Rasulullah saw, "Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa'urrasyidin sesudahku yang senantiasa mendapatkan petunjuk. Selalu berpegang teguhlah kalian dengannya dan gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi-gigi geraham."
3. Kelayakan Ali dalam memegang kendali kekhilafan. Mengingatkan bahwasanya akhir kekhilafahan yang dikendalikannya adalah genap tiga puluh tahun terhitung sejak kekhilafahan Nubuwwah yang ditentukan dalam hadits ini.
Sabda beliau saw, "Umur khilafah Nubuwwah adalah tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu Allah akan menganugrahkan kerajaan
Abdullah bin Ahmaad berkata, "Saya katakan kepada ayahku, 'Sesungguhnya mereka berkata, "Sesungguhnya Ali itu bukan khalifah." Ia mengatakan, "Ini adalah perkataan yang buruk dan hina. Bukankah para sahabat memanggilnya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah kita juga akan mendustakan mereka padahal mereka itu telah menunaikan haji, menegakkan hokum potong tangan dan merajam orang yang berzina. Bukankah tidak ada yang boleh melakukan semua ini selain seorang khalifah." [5]
Bai'at Thalhah Dan Zubair
Dari Abu Basyir Al-Abidy, dia berkata, "Ketika Utsman dibunuh, aku sedang berada di Madinah. Setelah kejadian itu, kaum Muhajirin dan Anshar segera berkumpul dan diantara mereka terdapat Thalhah dan Zubair. Mereka menemui Ali seraya berkata, "Wahai Abu Hasan, kemarilah kami siap membai'at anda." Tetapi Ali berkata, "Saya tidak butuh dalam urusan kalian, tetapi saya tetap bersama kalian. Karena itu, siapa saja yang kalian pilih, saya sungguh ridha." Lantas mereka memilih dan demi Allah ketika itu mereka berkata, "Tiada yang kami pilih selain anda…..(hingga selesai riwayatnya)." [6]
Riwayat ini secara jelas menerangkan kesempurnaan kesempurnaan pembai'atan Ali ra. Selain riwayat di atas, masih banyak riwayat-riwayat lain yang menyebutkan masalah ini. Riwayat tadi juga menunjukkan bahwa para sahabat telah membai'at Ali ra dan mereka sepakat dalam hal itu. Termasuk diantara mereka adalah Thalhah dan Zubair.
Adapun keterangan yang terdapat dalam sebagian riwayat bahwa Thalhah dan Zubair membai'at Ali karena terpaksa adalah tidak benar berdasarkan periwatan yang shahih. Karena riwayat-riwayat yang shahih menerangkan sebaliknya. At-Thabari telah meriwayatkan dari Auf bin Abu Jamilah, dia berkata, "Saya bersaksi bahwa saya telah mendengar Muhammad bin Sirin berkata, "Ketika itu Ali datang lalu berkata kepada Thalhah, "Ulurkan tanganmu wahai Thalhah, aku akan membai'atmu." Kemudian Thalhah menjawab, "Anda lebih berhak menerimannya, Anda adalah Amirul Mukminin. Maka ulurkan tangan Anda." Selanjutnya Ali mengulurkan tangannya, lalu Thalhah pun membai'atnya.
Ibnul Arabi juga menegaskan rusaknya tuduhan yang mengatakan bahwa keduanya (Thalhah dan Zubair) dalam keadaan terpaksa. Ibnu berkata, "Ini sangat tidak layak dituduhkan kepada mereka (Thalhah dan Zubair) dan tidak pula kepada Ali." Ia menambahkan, "Jika ada yang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair dalam keadaan terpaksa membai'at Ali secara sempurna. Ini adalah sebuah ijtihad yang bertolak. Barangsiapa yang membai'at maka hal ini tidak akan berpengaruh pada mereka berdua dan tidak pula dalam pembai'atan seorang imam.
Beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair dipaksa untuk melakukan bai'at adalah batil dan rusak. Karena disisi lain terdapat beberapa riwayat shahih yang menetapkan bai'at mereka berdua kepada Ali ra secara suka rela tanpa paksaan apapun. Sebagaimana riwayat shahih yang dituturkan oleh Ibnu Hajar dari jalur Al-Ahnaf bin Qais. Diriwayatkan bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair menyuruh Al-Ahnaf agar membai'at Ali ra setelah mereka bermusyawarah menentukan siapakah yang layak di bai'at sepeninggal Utsman bin Affan.
Ali adalah sosok yang tercepat dalam menunaikan kebaikan. Ia memiliki keutamaan dan komitmen kepada hokum-hukum Al-Kitab dan As-Sunnah. Kuat berpegang teguh dengan mengamalkan keduanya dan dalam beberapa khotbahnya ia senantiasa menerapkan semua perintah dan larangan syariat. Bisa dikatakan bahwa Ali adalah calon terkuat untuk memegang kendali kepemimpinan setelah terbunuhnya Umar bin Khattab. Dimana AL-Faruq telah menentukan kekhilafahan pada enam orang, dan salah satunya adalah Ali ra. Kemudian, dari enam orang kandidat ini empat diantaranya yaitu Abdurrahman, Sa'ad, Thalhah dan Zubair telah mengundurkan diri dari hak mereka sebagai calon khalifah setelah Umar, lalu diberikan kesempatan terbuka lebar didepan beliau berdua. Dan tidak lagi tersisa selain untuk Ali dan Utsman maka sudah pasti milik Ali. Maka tatkala Utsman telah meninggal dunia, jabatan itu milik Ali ra. Terlebih lagi, para penduduk Darul Hijrah lebih mengutamakannya dan memenangkannya. Jadilah ia sebagai orang yang berhak menerima kekhilafahan tersebut. Bahwasanya ketika itu tidak ada lagi sahabat Rasulullah saw yang masih tersisa yang lebih layak dan lebih berhak menerima kekhalifahan itu selain Ali ra. Ali memliki keberanian yang luar biasa, terdepan dalam kecerdasan akal dan peradilan. Teguh dalam menghadapi setiap peristiwa, kuat dalam memegang kebenaran dan menjalankan berbagai urusan yang merupakan hasil akhir dari perenungan dan pemikirannya. Seluruh indikasi kelayakan dan faktor ini mengangkatnya ke kursi calon khalifah muslimin satu-satunya dimasa yang kritis dan sensitif sepanjang kehidupan mereka. [7]
Ijma' Atas Kekhalifahan Ali
Ijma' ahlus Sunnah wal Jamaah telah menetapkan bahwa Ali ra adalah sosok terpilih untuk memegang kendali khilafah setelah Utsman bin Affan ra. Ali yang lebih dulu masuk islam, paling banyak ilmunya, paling dekat nasabnya dengan nabi saw paling pemberani, paling besar rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling banyak sifat dan perilaku baiknya, paling bersegera dalam mengerjakan kebaikan, paling tinggi derajatnya paling mulia kedudukannya dan paling mirip dengan Rasulullah saw dalam perilaku dan keteladannya. Maka Alilah yang terpilih mengendalikan roda kekhalifahan, bukan yang lain. Sementara itu, semua Nabi saw yang masih tersisa di Madinah benar-benar telah memberikan bai'atnya secara ijma'. Dengan begitu, Ali adalah seorang imam yang sah dan benar. Semua manusia wajib menaatinya dan haram membangkan atau menentang pemerintahannya.
Beberapa ulama menuturkan ijma' umat atas kekhalifahan Ali:
1. Abu Manshur Al-Baghdadi berkata, "Ahli kebenaran dan keadilan telah sepakat atas kebenaran dan keabsahan kepemimpinan Ali ra sejak ia diserahkan kepadanya pasca terbunuhnya Utsman bin Affan.
2. Cepat dalam melaksanakan kebaikan, dari kalangan para sahabat yang masih tersisa di Madinah. Dia berkata, "Esok harinya, setelah terbunuhnya Utsman bin Affan di Madinah, Ali bin Abu Thalib dibai'at sebagai khalifah. Ia dibai'at oleh Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid bin Amru bin Nufail, Ammar bin Yasir, Usamah bin Zaid, Sahal bin Hunaif, Abu Ayyub Al-Anshari, Muhammad bin Maslamah, Zaid bin Tsabit, Huzaimah bin Tsabit dan semua sahabat Rasulullah saw yang tinggal di Madinah serta kaum muslimin lainnya.
Ada sebagian orang yang menyanggah adanya ijma' atas kekhalifahan Ali ra. Sanggahan mereka ini berdasarkan beberapa alas an berikut:
1. Tujuan orang-orang membai'at Ali adalah agar Ali mau membunuh orang-orang yang telah membunuh Utsman.
2. Adanya kelompok sahabat yang tidak mau membai'at Ali, seperti Sa'ad bin Abu Waqqash, Muhammad bin Maslamah, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid dan sahabat-sahabat lain yang selevel dengan mereka.
3. Penduduk Syam (Syiria), yaitu Mu'awiyah dan orang-orang yang bersamanya tidak mau membai'at Ali, bahkan mengadakan perlawanan terhadapnya.
UTSMAN BIN AFFAN
Biografi Utsman Bin Affan
Utsman bin Affan pada masa jahiliah termasuk di antara orang yang terpandang di tengah kaumnya, dan termasuk milyader mereka. Ia tidak pernah sekalipun menyembah berhala, juga tidak melakukan perbuatan nista sekali pun.
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abil 'Ash bin Umayyah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luwa'I bin Ghalib bin Fihr. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi'ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha' binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah saw. Garis nasabnya bertemu dengan Nabi saw pada jalur Abdu Manaf. [8]
Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga, salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura, serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, serta merupakan khulfa' Rasyidin yang ketiga, imam mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.
Kebijakan Luar Negeri Utsman Bin Affan
Sejak memeluk Islam, Utsman bin Affan senantiasa terlibat bersama Nabi saw. Beliau hanya berpisah dengan beliau ketika diizinkan oleh Nabi saw hijrah ke Habasyah, atau lantaran suatu tugas yang hanya bisa dilaksanakan oleh Utsman bin Affan. Setelah Nabi saw wafat, para sahabat sepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar adalah orang yang berhasil mengajak Utsman bin Affan untuk memeluk islam. Keduanya sudah lama berteman sebelum keislaman mereka, selain juga keduanya banyak memiliki kesamaan karakter dan akhlak. Untuk itu, tidaklah mengherankan setelah lamanya pertemanan keduanya, Utsman termasuk salah seorang yang paling dekat dengan khalifah baru. Umar bin Khaththab dalam hal: pekerjaan, politik, dan apa saja yang disukai olehnya. [9] Pada era khilafah Abu Bakr, orang terdekat dengannya setelah Umar bin Khaththab adalah Utsman bin 'Affan. Saat menjelang akhir kehidupannya, Abu Bakr mendiktekan wasiat menyebutkan nama siapa yang menggantikannya ketika meninggal dunia kelak. Orang yang mencatat tersebut adalah Utsman bin Affan. [10]
Umar bin Khaththab memegang tumpuk khilafah, ia tidak memiliki sahabat dekat sebagaimana kedekatannya dengan Abu Bakr. Oleh karena itu, orang yang terdekat dengan Umar bin Khaththab adalah siapa saja di antara sahabat yang paling deket dengan ide, dan tugas-tugasnya. Utsman bin Affan adalah diantara diantara sahabat yang ikut terlibat pada masa Umar bin Khaththab. Umar pun meninta Utsman bin Affan sebagai teman musyawarahnya. Ia juga diminta oleh Umar bin Khaththab untuk mendata penduduk Madinah dan menentukan berapa besar santunan yang akan diberikan kepada mereka.
Oleh karena itu, kebijakan politik luar negeri yang diambil Utsman bin Affan pun tidak berbeda dengan dua khilafah sebelumnya, yaitu terus mendakwahkan islam seluas-luasnya, dan jika terjadi penolakan maka dengan jihad fi sabilillah.
Politik Luar Negeri Terhadap Bangsa Persia
Saat menjabat sebagia Khalifah menggantikan Umar, Umat Islam telah berhasil membebaskan sebagian besar negeri Persia. Akan tetapi raja mereka Yazdigird, masih hidup; belum berhasil ditawan dan dilumpuhkan. Yazdigird terus berupaya untuk mengembalikan wilayah-wilayah Persia yang berhasil dibebaskan umat islam, serta memprovakasi penduduk di wilayah tersebut untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Islam. [11]
Bangsa Persia akhirnya berhasil membangkitkan perlawanan dan menghianati janji mereka terhadap umat islam yang panglima Ubaidillah bin Ma'mar. mereka pun bertemu di Estakh dan pertempuran tersebut pasukan Islam menderita kekalahan dan Ubaidillah bin Ma'mar pun syahid terbunuh.
Pada saat itu Utsman telah mengangkat Abdullah bin Amir sebagai gubernur Bashrah. Ketika berita itu sampai ke telinganya. Abdullah bin Amir pun segera memobilisasi pasukan Islam di Basrah untuk berangkat menuju Estakh.
Utsman Bin Affan Syahid
Kuffah adalah sumber pemberontak utama dalam kekhilafahan Utsman bin Affan. Banyak penduduk yang mengeluh penjabat-penjabat dan para petinggi kota itu. Mereka marah kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, dan dan menuduh Walid bin Uqbah meminum khamar. Kemudian Utsman bin Affan pun mengangkat Sa'id al-'Ash, setelah menjabat gubernur di sana. Sa'id al-'Ash lantas mencari penyebab pemberontakan tersebut. Ia pun menulis laporan kepada Utsman bin Affan. Dalam surat itu ia mengatakan
"Keadaan penduduk Kufah sudah kacau balau, dan sudah pula memenuhi orang-orang terpandang dan terkemuka. Kebanyakan penduduknya terdiri dari para pendatang baru, disusul oleh orang-orang Arab pendalaman, sehingga tidak lagi mereka melihat orang terpandang atau pejuang." [12]
Faktor lain tersebarnya fitnah adalah adanya tokoh Abdullah bin Saba', seorang Yahudi San'a di Yaman yang pada masa Utsman bin Affan kemudian masuk Islam. Abdullah bin Saba' berusaha membangkitkan kebencian dalam hati orang di kota-kota. Ia berkunjung ke sejumlah kota dalam kawasan islam untuk berusaha membangkitkan kemarahan kepada Utsman bin Affan. Ia datang ke Basrah lalu dikeluarkan oleh Abdullah bin Amir setelah mengetahui kedatangannya. Kemudian ia pergi ke Kufah yang kemudian juga diusir. Lantas ia menuju Syam, tetapi Mu'awiyah tak lama kemudian juga mengusirnya.
Akhirnya ia berpindah ke Mesir dan dari sini ia mulai menyebarkan propogandanya dan mengirimkan orang kepada pengikutnya yang ada di Basrah dan Kufah. Dalam propogandanya itu ia mengatakan bahwa setiap Nabi mempunyai seorang penerima wasiat, dan Ali adalah penerima wasiat dari Nabi Muhammad dan penutup bagi penerima wasiat, sebagaimana Nabi Muhammad yang juga penutup para Nabi. [13]
Kesimpulan Utsman Bin Affan
Pada masanya, wilayah Daulah Islam telah terbentang dari barat ke timur, dari Iskandariyah (Mesir) hingga ke Khurasan. Lalu dari Yaman disebelah selatan sampai Syam di bagian utara. Wilayah timur-yang Khurasan. Lalu dari Yaman disebelah selatan sampai Syam dibagian utara. Wilayah-timur-yang Khurasan termasuk didalamnya-diakhir zaman akan memainkan peran penting dalam politik umat islam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist shahih dari Nabi saw. Setelah Khurasan terbebas dari Persia beserta agama dan kebudayaannya kemudian beralih ke pangkuan Islam, tercacat bahwa sejak saat itu, tidak ada satu pun kekuatan yang mampu mengubah keyakinan penduduknya terhadap Islam. Bahkan pada era modern ini, Afghanistan-yang merupakan bagian dari wilayah Khurasan, mampu mengimbangi kekuatan Uni Soviet dan Amerika disana. Lebih mengejutkan lagi bahwa Afghanistan berhasil memukul mundur Uni Soviet dan mampu menahan Amerika; tidak meraih kemenangannya disama.
Utsman bin Affan mengambil langkah yang tegas lagi konkrit dalam politik luar negerinya. Ia tundukkan dua super power dari wilayah kekuasaan Daulah Islam, yaitu Persia dan Romawi. Bahkan pada masanya, kerajaan Persia runtuh dan tidak mampu bangkit kembali selama-lamanya setelah meninggalkan Yazdigird, raja terakhir Persia.
Ia teruskan jihad fi sabilillah dan pemebebaskan negeri-negeri lainnya yang berada disekitar wilayah Daulah Islam demi mencegah musuh untuk membangun kekuatan mereka kembali. Ia bangun suatu sistem yang mapan yang mapu menginteragrasikan umat islam untuk melindungi wilayah-wilayah yang telah dikuasai umat islam. Bahkan pada masanya ia bangun armada laut Islam disebabkan memang hal itu dibutuhkan untuk mengimbangi lawan di lautan.
Ini semua menunjukkan bahwa dinatara kewajiban bahwa di antara kewajiban pemimpin dalam Daulah Islam adalah menegakkan persoalan agama, memberi rasa aman bagi penduduk yang berada diwilayah Daulah Islam serta menjamin kesejahteraan mereka, dan juga berjihad fi sabilillah untuk membawa kedamaian Islam.
[1] At-Thabaqoat al-Kubra, 3/19, Shifatus Shafwah, 1/308, Al-Bidayah Wan Nihayah, 7/333, Al-Ishabah, 1/507, Al-Isti'ab, 1/1089, Al-Muntadlam, 5/66, dan Al-Mu'jam Al-Kabir, Thabrany, 1/50.
[2] Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil 'Asyrah, 617.
[3] At-Thabaqat Ibnu Sa'ad: III/31.
[4] Abu Bakar Al-Khallal, Kitab As-Sunnah (415).
[5] As-Sunnah, Abdulllah bin Hambal (235) dan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah: II/686.
[6] Tarikh Thabari: V/449, sanad riwayat ini hasan lighairihi, dan Muhibbudin Al-Khathib, Hamalatu Risalatul Islam Al-Awwalun (57).
[7] Tahqiq Mawaqif Shahabah Fil Fitnah: II/91-92.
[8] Muhammad Ridha, Dzunnurain Utsman bin 'Affan Tsalitsu Khulafa ar-Rasyidin, penerjemah Arif Munandar, Sukoharjo: Al-Qawam, h.25
[9] Al-'Aqqad, Al-'Abqariyyatul Islamiyyah, h.597.
[10] Ibid, h. 600
[11] Abdul Muta'al ash-Sha'aidi, As-Siyasah al-Islamiyyah fi 'Ahdil Khulafa' Rasyidin, Darul Fikr al-'Arabi, 1962, h.222
[12] Muhammad Husain Haekal, 'Utsman bin 'Affan, h.130
[13] Muhammad Husain Haekal, 'Utsman bin 'Affan, h.131
Download File Khulafa ar-Rasyidin (Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) (Format Docx.)
*Note !! : Format penulisan dalam file telah diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku
ConversionConversion EmoticonEmoticon