Kerajaan-Kerajaan Pasca Dinasti Abbasiyah
A. Dinasti Usmaniyah di Turki (Turki Usmani)
Sejarah Dinasti Usmaniyah telah muncul sejak tahun 699 H/ 1299 M, namun pemerintahan itu belum menjadi khilafah, karena orang-orangnya belum mengumumkan kekhilafahan mereka, hingga akhirnya khalifah Abbasiyah menyerahkan kepada mereka kekhilafahannya pada tahun 923 H/ 1517 M.
Dalam kondisi politik dari umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah datangnya dan berkembangnya tiga kerajaan besar, dan diantara ketiga kerajaan tersebut adalah kerajaan Turki Usmani. Kerajaan Usmani disamping kerajaan yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya yaitu: Mughal di India, dan Safawi di Persia.
Sejarah Khilafah Usmani tergolong sejarah yang samar, penuh dikelilingi berbagai perkara syubhat. Ini merujuk pada penyimpangan yang terjadi pada masa pembentukannya. Pemerintahan ini dibentuk oleh kekuatan musuh-musuhnya. Pasalnya, para pendirinya adalah orang-orang asing yang tidak memiliki prinsip keadilan, atau orang Arab yang pernah terlibat pertikaian dengan orang-orang Usmani pada masa tertentu. Atau orang Turki sekuler yang patuh kepada undang-undang baru sesudah kemunduran Khilafah. [1]
Para pembangun kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang menempati daerah kawasan Mongol dan daerah kawasan di utara negeri China. Selama jangka waktu kira-kira 300 tahun, mereka bermigrasi ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di wilayah itu, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka sedang mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang pada saat itu sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin memberikan hadiah sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan wilayah Bizantium. Sejak saat itu, mereka terus membangun wilayah barunya dan memilih Syukud sebagai ibu kota di wilayah tersebut.
Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M dalam usia kurang lebih 90 tahun. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Anak putra Ertoghrul inilah yang dirasa pantas sebagai pendiri kerajaan Turki Usmani. Usman memimpin pemerintahan antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, beliau banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya yang mengalahkan benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broesse.
Kemudian pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin mati terbunuh. Kerajaan Saljuk Rum ini kemudian terpisah-pisah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Bekas wilayah dari saljuk menjadikan basis daerah kekuasaanya. Para penguasa saljuk yang selamat dari pembunuhan massal di Mongol diangkat sebagai pemimpin . Dengan demikian berdirilah sejarah kerajaan Turki Usmani yang di pimpin oleh Usmani yang mempunyai gelar Padisyah al-usman yang berarti raja dari keluarga Usman. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Sultan Saljuk Rum. [2]
Pemimpin pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Usman I. Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Usman atau raja besar keluarga Usman tahun 699H/ (1300 M), selangkah demi selangkah wilayah dari kerajaan dapat diperluas, kemudian Usman I menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukan kota Broessa pada tahun 1317 M, sampai dengan tahun 1326 M di jadikannya sebagai ibu kota kerajaan. Pada masa pemerintahan Orkhan (726H/1326 M-726 H/1359 M) kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukan Azmir (Semirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1300 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Gallipoli ( 1356 M). Wilayah ini adalah bagian dari benua Eropa yang pertama kali dikuasai oleh kerajaan Usmani. [3]
Ekspansi kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika perluasan di arahkan ke wilayah Konstantinopel, tentara Mongol yang di pimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki Usmani mengalami kekalahan. Bayzid bersama dengan putranya, Musa menjadi sandera dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M.
Kekalahan Bayazid di Ankara itu berakibat buruk bagi kerajaan Turki Usmani. Penguasa dan pemimpin Saljuk di Asia kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu, putra-putra bayzid saling berebut kekuasaan. Suasana yang buruk ini berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Sultan Muhammad I berusaha keras mempersatukan negaranya dan mengembalikan wewenang dan kekuasaan seperti dulu.
Pada tahun 1405 M Timur Lenk meninggal dunia, Kesultanan Mongol dipecah dan dibagi kepada putra-putra kerajaan yang satu sama lain berselisih pendapat. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk dapat melepaskan diri dari kekuasaan wilayah Mongol. Sehingga Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya pada saat masa Muhammad II atau disebut Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M).
Sultan Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan Bizantium dan menaklukan Konstantinopel tahun 1453 M. Dengan terbukanya wilayah konstantinopel sebagai benteng pertahanan yang terkuat dari kerajaan Bizantium, lebih memudahkan untuk arus ekspansi kerajaan Turki Usmani ke Benua Eropa. Akan tetapi semasa Sultan Salim I (1512-1520 M) naik mahkota, ia mengalihkan perhatian ke Timur dengan mengalahkan Persia, Syria, dan Dinasti Mamalik di Mesir. Usaha keras dari Sultan Salim I ini dikembangkan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M). Ia tidak mengarahkan ekspansinya ke satu arah utara atau selatan, tetapi seluruh wilayah sekitar kerajaan Turki Usmani merupakan tujuan yang menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menguasai Irak, Bekgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian luas wilayah kerajaan Turki Usmani pada masa Sultan Muhammad Sulaiman meliputi: Asia kecil, Armenia, Irak, Siria, Hajez, dan Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, Hongaria, Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania dan Rumania di Eropa. [4]
Mengutip dari pendapat Carl Brockelmann, Ahmad Syalabi mengatakan, Sultan salim I pernah meminta kepada Khalifah Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan ke khalifahan kepadanya, ketika ia menaklukan dinasti Mamalik di sana. Pendapat lainnya tentang gelar "khalifah" sebenarnya sudah pernah di gunakan oleh Sultan Murad (1359-1380 M), setelah ia berhasil menaklukan Asia kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini , Ahmad Syalabi berkesimpulan, para Sultan kerajaan Turki Usmani tidak perlu menunggu Khalifah AbbasIyah menyerahkan gelar itu, karena jauh dari kerajaan Turki Usmani sudah ada tiga Khalifah dalam satu masa. Kemudian pada abad ke-10 M, para penguasa Dinasti Fathimiyah di Mesir sudah menggunakan gelar Khalifah. Tidak lama kemudian, setelah itu Abd Al-Rahman Al-Nashir di Spanyol menyatakan diri sebagai pemimpin Khalifah melanjutkan Dinasti Bani Ummayyah di Damaskus, bahkan ia merendahkan para pendahulunya yang berkuasa di Spanyol yang menggangap cukup dengan gelar "amir" saja. Karena iri, ada kemungkinan penguasa Turki Usmani memang sudah menggunakan gelar "Khalifah" jauh sebelum menaklukan Dinasti Mamalik, tempat bertahtanya para Khalifah Abbasiyah, untuk kemudian meminta gelar itu. [5]
Jadi setelah Sultan Sulaiman wafat, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya, yang mengakibatkan kejatuhan kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, meskipun terus mengalami kemunduran karena Negara-negara Barat atau Nasrani yang semakin kuat. Dan mengetahui kelemahan atau kelengahan kekuasaan kerajaan Turki Usmani, kerajaan Turki Usmani untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara kuat, terutama dalam bidang militer. Kerajaan Turki Usmani merupakan Pemerintahan Islam yang terkuat pada masa itu, dan telah menjaga dan melindungi pemerintahan islam dan kaum muslim di seluruh Dunia selama kurang lebih 7 abad. Itulah sedikit penjelasan tentang sejarah berdirinya Dinasti Usmaniyah (Turki Usmani).
1. Kemajuan-Kemajuan Kerajaan Turki Utsmani
a. Bidang Kemiliteran dan Pemeritahan
Kemajuan di Bidang politik pemerintahan ini, terlihat dari keberhasilan kerajaan Turki Usmani dalam mengolah kerajaanya dan lama berkuasanya. Keberhasilan para pemimpin kerajaan Turki Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajan Usmani mencapai masa kejayaanya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Yang terpenting di antaranya adalah keberanian, ketrampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur dan menjaga wibawa politiknya. [6]
Kekuatan militer kerajaan ini mulai di kembangkan dengan baik dan terkendali ketika pertempuran dengan Eropa. Pembaruan dalam tubuh kekuatan militer organisasi oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk pengalihan anggota-anggota pimpinan, tetapi juga diadakan perbaikan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki menerimanya sebagai anggota, bahkan anak-anak kristen yang masih kecil diasramakan, dibimbing dan dilatih dalam suasana islam untuk di jadikan prajurit. Pasukan inilah yang dapat membentuk negara Turki Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan gerakan yang amat besar dalam penaklukan dan penguasaan negeri-negeri non Muslim.
Keberhasilan perluasan wilayah atau ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Dalam mengatur wilayah yang luas sultan-sultan kerajaan Turki Usmani selalu bertindak tegas. Dalam kepengurusan struktur pemerintahan, Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu dengan Shadr al-a'zham atau perdana mentri, yang membawahi Pasyaatau gubernur. Gubernur memegang kepimpinan daerah tingkat I. Di bawahnya terdapat sebagian orang al-zanaziq atau al-'alawiyah atau bupati.
Untuk menyusun urusan-urusan pemerintahan negara, dimasa sultan Sulaiman I,disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut berjuluk Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena usaha keras dari Sultan Sulaiman I yang sangat berharga ini, di ujung namanya di tambah gelar al-Qanuni. [7]
b. Bidang Ilmu dan Budaya
Kebudayaan dari kerajaan Turki Usmani merupakan persatuan bermacam-macam kebudayaan, di antaranya adalah Persia, Bizantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menguasai ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam kehidupan istana raja-raja. Organisasi pemerintahan ada kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sedangkan, ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan, keilmuan, dan huruf mereka menerimanya dari bangsa Arab. Orang-orang kerajaan Turki Usmani memang terkenal dengan bangsa yang suka dan senang berbaur dengan bangsa-bangsa asing dan terbuka untuk menerima kebudayaan dari luar. Hal ini mungkin terjadi karena mereka masih kurang dengan kebudayaan. Bagaimanapun, sebelumnya mereka adalah orang normal yang hidup di dataran Asia Tengah.
Sebagai golongan berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak mengutamakan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sedang dalam bidang ilmu pengetahuan , mereka tidak kelihatan begitu dominan. Karena itu, di dalam khazanah intelektual Islam tidak mendapatkan ilmuan terkemuka dari Turki Usmani. Namun, mereka banyak bergerak dalam pengembangan bidang seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan yang indah, seperti Masjid Al-Mahammadi atau Masjid jami' Sultan Muhammad Al-fatih, Masjid agung Sulaiman dan Masjid Abi Ayyub Al-anshari, Masjid-masjid tersebut di hiasi dengan kaligrafi yang bagus dan indah. Salah satu masjid yang terkenal menggunakan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asal mulanya merupakan gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu menjadikan penghujung antara gambar-gambar kristiani yang ada sebelumnya. [8]
c. Bidang Ekonomi
Kerajaan Turki Usmani merupakan negara yang sangat luas, dengan luasnya wilayah ini telah membantu pemasukan perekonomian kerajaan Turki Usmani baik itu dari harta rampasan perang, pembayaran pajak tanah, dan juga dari hasil garapan tanah yang disebut Timar, yaitu tanah garapan yang terkecil yang diberikan hasilnya kepada yang punya timar, sementara yang menggarapnya hanya mendapat hanya mendapat sekedar saja untuk makan. Selanjutnya ada juga tanah garapan yang lebih luas dari Timar yang disebut Ziamat. Ziamat ini diberikan kepada para tuan tanah yan telah berjasa kepada sultan atau kepala negara. Pemiliknya disebut Zaim. Kewajiban zaim adalah membayar pajak kepada pemerintah pusat di samping harus mengirim sejumlah tentara sesuai dengan luas ziamatnya.
Disamping adanya pemasukan keuangan diatas, perekonomian kerajaan Turki Usmani menjadi lebih mantap lagi dengan dikuasainya pusat-pusat atau jalur-jalur perdagangan internasional pada masa itu, yang diantaranya: Iran, Arab, Mesir, Samudera Hindia, Brussa, Anatolia, dan yang lebih penting lagi dengan dijadikan Istanbul menjadi ibu kotanya.
d. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial politik. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga, fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Karena itu, ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Mufti, sebagai pejabat urusan agama tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum bisa tidak berjalan.
Pada masa kerajaan Turki Usmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak di ikuti oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi mempunyai pengaruh yang amat dominan di kalangan tentara jenassari, sehingga mereka sering disebut Tentara Bektasyi, sehingga tarekat Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi jenssari Bektasyi.
Di pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, tafsir, dan hadist boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pera penguasa lebih cenderung untuk menegakan suatu paham (mazhab) keagamaan dan menekan mazhab lainnya. Sultan Abd Al-Hamid II, misalnya, begitu fanatik terhadap aliran Asy'ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan-kritikan dari aliran lain. Ia memerintahkan kepada Syaikh Husein Al-Jisri menulis kitab Al-hushun Al-Hamidiyah (benteng pertahanan Abdul Hamid) untuk melestarikan aliran yang dianutnya. Akibat kelesuan dalam ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan, maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan Hasyiyah (semacam catatan ) terhadap karya-karya masa klasik. [9]
Berdasarkan penjelasan diatas kemajuan kerajaan Turki Usmani mengalami banyak kemajuan di segala bidang, baik di bidang kemiliteran,ilmu pengetahuan,budaya,politik ,ekonomi,dan agama. Oleh karena itu kerajaan Turki Utsmani mengalami perkembangan yg pesat pada masa itu.
2. Kemunduran dan Kejatuhan Kerajaan Turki Usmani
Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut kerajaan Turki Usmani dengan armada laut kristen yang terdiri dari angkatan laut spanyol, angkatan laut bundukia, angkatan laut sri paus dan sebagian kapal para pendeta malta yang dipimpin Don juan dari spanyol.
Pertempuran ini terjadi diselat liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini kerajaan Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali. Pada Sultan Murad III (1574-1595 M) kerajaan Turki Usmani pernah berhasil menyerbu kaukasus dan menguasai tiflis di laut hitam (1577 M), merampas kembali tibris, ibu kota kerajaan syafawi menundukan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan menglahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M.
Namun, karena kehidupan moral sultan yang tidak baik menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Apalagi ketika pemerintahan dipegang oleh para sultan yang lemah seperti Sultan Muhammad III (1595-1603 M). Dalam situasi yang kurang baik itu, austria berhasil memukul kerajaan usmani. Sesudah sultan ahmad I (1603-1617 M) situasi semakin memburuk dengan naiknnya mustafa I (1617-1623 M). Karena gejolak politik dalam negri tidak dapat diatasinya, Syaikh al-islam, mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M).
Pada masa Sultan Ibrahim (1640-1648 M) berkuasa, orang-orang Vinetia melakukan perperangan laut melawan dan mengusir orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Turki Usmani di sepanjang pantai Asia kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera mengkonsolidasi kekutannya.
Sultan Mustafa III di ganti oleh saudaranya, Sultan Abd Al-Hamid (1774-1789 M) seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta Kutchuk kinerja, ia mengadakan perjanjian yang di namakan "perjanjian kinerja" dengan Cathrine II dari Rusia. Isi perjanjian kinerja antara lain:
a. Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di laut hitam kepada Rusia dan memberi izin armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan antara Laut Hitam dan Laut Putih.
b. Kerajaan Turki Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea). [10]
Kebaikan kerajaan Turki Usmani berperan dalam menyebarkan Islam di negeri-negeri yang mereka datangi di Eropa dan Afrika. Banyak kabilah asy-Syarkis yang telah masuk Islam lewat tangan mereka. Dan Masuknya orang-orang Utsmaniyah di sebagian wilayah Islam telah melindunginya dari bencana penjajah yang telah menimpa wilayah lain. Pemerintahan ini telah menguasai sebagian negeri-negeri Islam (hingga luasnya mencapai kira-kira 20 juta km2). Bangsa-bangsa Eropa memerangi orang-orang Utsmaniyah ini karena mereka adalah orang-orang Islam, bukan karena mereka orang-orang Turki. Mereka memusuhinya. [11]
Berikut secara garis besar penyebab kemunduran Dinasti Turki Utsmani
a. Perpindahan transit perdagangan dunia
Dengan ditemukannya Tanjung Harapan arus perdagangan dari Timur ke Barat tidak lagi harus melalui laut merah dan teluk Persia. Kondisi ini dalam satu sisi dapat meningkatkan perekonomian bangsa Eropa akibat semakin ringannya biaya perjalanan, pada sisi lain penerimaan kerajaan Usmani sebagai pedagang perantara berkurang secara berangsur-angsur. Sementara itu belanja negara terus melambung tinggi akibat peperangan dengan kelompok aparatis Eropa.
b. Stagnasi dalam lapangan Iptek
Berlainan dengan daulat Abasiyyah di Baghdad dan Khilafah Islam di Spanyol yang punya gairah tinggi terhadap ilmu pengetahuan, kerajaan Usmani tidak banyak berminat dali pemerintahan, nampaknya tekah menuai hasil kebijakan pemerintahan yang kuat secara militer. Stagnasi ini nampaknya ada kaitan dengan menurunnya semangat berpikir bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa al Ghazali Pada saat demikian Eropa bangkit dengan berbagai penemuan barunya, modernisasi di bidang peralatan militer yang dimiliki bangsa Eropa, secara perlahan dan pasti menjadikan kerajaan Usmani tidak sanggup menghadapi tekanan-tekanan mereka.
c. Kelemahan Para Sultan
Dalam sistem pemerintahan apapun, kepala negara nampaknya merupakan faktor kunci. Sepeninggal Sulaiman al-Qanuni, kerajaan Usmani selalu dipimpin oleh Sultan-Sultan yang lemah. Kelemahan tersebut di samping berasal dari pola hidup, juga bakat kepemimpinan.
Para Sultan tidak jarang mengambil wanita-wanita dari daerah yang ditaklukkan untuk dijadikan permaisuri atau Harm. Wanita-wanita istana ini baik secara langsung atau tidak langsung akan membuka jalan bagi terbongkarnya rahasia para Sultan kepada pihak-pihak yang menyimpan dendam serta berusaha untuk menggulingkan Sultan. Politik para wanita istana ini tidak jarang juga melibatkan pasukan Yenisseri. Misalnya pembunuhan terhadap Sultan Ibrahim I oleh tentara Yenisseri atas fitnah Sultanah, dan diganti dengan Muhammad IV yang baru berusia tujuh tahun.
d. Luasnya Wilayah Negara
Sebagaimana dimaklumi bahwa para Sultan kerajaan Usmani telah menetapkan kebijaksanaan untuk memperluas wilayah kekuasaan melalui kekuatan militer. Perluasan wilayah ini jika ditelusuri nampaknya jauh dari motif pengembangan da'wah. Hal ini terlihat dari sikap toleransi Sultan terhadap agama-agama lain. Kemudian untuk membuktikan bahwa mereka berlaku adil, tanah wajib zakat bagi orang Islam dan tanah wajib kharaj bagi non muslim tidak diberlakukan.
Keluasan wilayah dengan komposisi penduduk yang beragam itu selanjutnya akan menyulitkan dalam pembinaan disiplin sosial. Kelemahan di bidang administrasi dan perangkat kontrol akan menimbulkan peluang untuk korupsi dan menyalahgunakan jabatan bagi pegawai-pegawai Sultan yang jauh dari pusat pemerintahan.
Jadi secara kepemimpinan kerajaan Turki Usmani pernah dipimpin sebanyak 40 orang raja, di mana yang pertama adalah pendirinya yaitu Sultan Usman bin Ertoghrul, kemudian dilanjutkan raja-raja setelahnya. Diantara raja yang paling sukses adalah Muhammad Al-Fatih dan Sultan Sulaiman I. Di masa Kerajaan Turki Usmani perkembangan yang paling pesat adalah di bidang militer dan infrastuktur, sedangkan bidang lain tidak terlalu mengalami kemajuan berarti. Kerajaan Turki Usmani mulai mengalami masa kemunduran dan kejatuhan kekuasaan setelah wafatnya Sultan Sulaiman Al-Qanuni, sultan setelahnya tidak mampu meneruskan jalannya pemerintahan dengan baik, sementara bangsa-bangsa Eropa mengalami masa kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat, hingga akhirnya tahun 1942 Republik Turki diproklamasikan menggantikan kerajaan Turki Usmani.
B. Dinasti Safawiyah di Persia
Kerajaan Safawiyah bermula dari perjuangan Shafi al-Din al-Ardabily (1252-1334 M) yang telah mendirikan dan memimpin tarekat Safawiyah di Ardabil Azerbaijan. Shafi al-Din dikenal sebagai murid yang taat dari seorang Mursyid syekh Taj al-In Ibrahim Zahidi (1218-1301 M) di kota Jilan dekat laut Kapsia. Kemudian ia dijadikan menantu oleh gurunya dan sepeninggal gurunya, kedudukannya diganti oleh anaknya bernama Sadr al-Din Musa (1334-1339 M). Sadr al-Din diganti oleh anaknya bernama Khawaja Ali (1339-1427 M) dan selanjutnya kepemimpinan tarekat diteruskan oleh anaknya bernama Ibrahim sampai tahun 1447 M. [12]
Shafi al-Din sendiri ada dua keterangan. Yang pertama, beliau berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Syi'ah yang ke-6 bernama Musa al-Kazhim. Gurunya bernama Syech Taj al-Din Ibrahim zahidi (1216-1301 M), yang dikenal dengan sebutan Zahid Al-Gilani.yang kedua, beliau adalah keturunan asli Iran dari Kurdistan dan seorang Sunni Mazhab Syafi'i. [13]
Kerajaan safawi berasal dari sebuah gerakan Tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi. [14]
Berkat prestasi dan ketekunannya dalam bidang tasawuf, Shafi al-Din dijadikan sebagai menantu oleh gurunya. Shafi al-Din mendirikan tarekat safawiyah setelah menggantikan gurunya sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat tekun memegang ajaran agama. Pada awalnya, gerakan tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, termasuk para ahli Bid'ah.
Tarekat yang di pimpin oleh Shafi al-Din ini semakin menguat posisinya, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia.
Di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar "khalifah". Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, sekaligus menentang setiap orang bermadzhab selain syi'ah. Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Junaid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut Junaid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Ditempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar bakr, AK. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki.
Selama dalam pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan.
Anak Junaidi yaitu Haidar, ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru dapat diserahkan kepadaNya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kepemimpinan gerakan safawi selanjutnya berada di tangan Ismail. Selama 5 tahun Ismail bersama pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan Qizilbash (baret merah).
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Hizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu, dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. [15]
Masa kekusaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Usaha usaha yang dilakukan Abbas I diantaranya, Pertama, menghilangkan dominasi pasukan Kizilbaz atas kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang aggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgea, Armenia, Sircassia, yang telah ada sejak raja Tahmasp I. Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Turki Usmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina 3 khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan) dalam khutbah-khutbah jum'at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu dia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul.
Usaha-usaha yang di lakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Pada tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Herat. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya di kerajaan Turki Usmani. Masa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaannya kerajaan Turki Usmani itu.
Pada tahun 1602 M, di saat kerajaan Turki Usmani berada di bawah Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat di kuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan bandar Abbas. [16]
Itulah gambaran ringkas tentang berdirinya kerajaan atau dinasti Safawiyah. Dinasti ini tergolong salah satu negeri Persia terbesar semenjak penaklukan muslim di Persia. Negeri itu juga menjadikan aliran syi'ah sebagai aliran agama resmi, sehingga menjadi salah satu titik penting dalam sejarah muslim.
1. Kemajuan-Kemajuan Kerajaan Safawiyah
a. Kemajuan Dibidang Politik
Kemajuan dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peran dalam peraturan politik internasional.
Pada saat Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M) ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, ia juga dapat menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Aq-qayunlu di Hamadan 1503 M, menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd pada tahun 1504 M, Diyar Bakr 1505-1507, Baghdad dan daerah barat daya Persia pada tahun 1508 M, Sirwan 1509 M dan Khurasan pada tahun 1510 M. Ismail I hanya memerlukan waktu selama sepuluh tahun untuk menguasai seluruh Persia. [17]
Dalam waktu sepuluh tahun itu, wilayah kekuasaan Safawi sudah meliputi seluruh Persia dan bagian Timur Bulan Sabit Sumur (Fertile Crescent), yaitu wilayah di Asia, membentang mulai dari Laut Tengah, mulai daerah antara sungai Tigris dan Sungai Eufrat, hingga ke Teluk Persia. [18]
Ketika Syah Abbas I naik tahta, kondisi kerajaan Safawi dalam keadaan lemah akibat peperangan dengan kerajaan Turki Usmani yang lebih kuat dan terjadi berkali-kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I, Ismail II, hingga zaman Muhammad Khudabanda. Selain itu, di dalam negeri sering terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok yang ingin memperebutkan kekuasaan. Maka dalam rangka memulihkan kekuatan kerajaan Safawi, Syah Abbas I melakukan dua langkah, pertama, membangun angkatan bersenjata kerajaan yang kuat, besar dan modern. Tentara Gizylbasy yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan, menurut Syah tidak bisa diandalkan lagi untuk menopang citra politik Syah yang besar. Untuk itu perlu dibangun suatu angkatan bersenjata yang baru. Inti satuan militer ini direkrut dari bekas tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia. Mereka diberi nama Ghulam. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Dengan keberhasilan membangun angkatan bersenjata yang tangguh, lalu memulikan stabilitas dalam negeri mengembalikan wilayah-wilayah kerajaan yang pernah direbut kerajaan lain selama pemerintahan raja-raja sebelumnya, maka Syah Abbas I berhasil membawa kerajaan Safawi mencapai kemajuan di bidang politik.
b. Kemajuan di Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas I telah mendorong kemajuan di bidang ekonomi, terutama pada sektor industri dan perdagangan. Untuk menunjang kekuatan militer yang memerlukan banyak dana, Syah Abbas I melakukan usaha besar di bidang perdagangan. Ia memacu produksi sutera dan memasarkan produk tersebut melalui para pedagang yang berada dalam pengawasan Negara. Melalui para pedagang Armenia yang membawa produk tersebut ke Isfahan dan menjadikan mereka sebagai penengah antara sang Syah dan pelanggang asing, maka pihak kerajaan memperoleh kedudukan yang kuat di dalam perdagangan Iran.
Abbas I juga mendirikan Sejumlah pabrik kerajaan untuk menghasilkan barang-barang mewah untuk keperluan kalangan kerajaan dan untuk keperluan perdagangan internasional. Pembuatan karpet yang semula merupakan kegiatan industri rumah tangga, di pusatkan pabrik-pabrik besar di Isfahan. Pembuatan sutera juga di ubah menjadi industri kerajaan yang menghasilkan beludru, kain damas, satin dan kain taf untuk di perdagangkan ke Eropa. Kerajaan juga mengembangkan produksi keramik Cina yang khas di dasarkan pada seni porselin Cina. Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan, di seluruh penjuru Iran di bangun jalan-jalan dan Cavansaries (perkampungan dagang). [19]
Jadi kesimpulan kutipan diatas adalah kemajuan ekonomi dari kerajaan safawi yang dipimpin oleh Syah Abbas 1 mengalami kemajuan di bidang Industri dan perdagangan.
c. Kemajuan di Bidang Fisik Tata Kota dan Seni
Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas I terhadap kota Isfahan, Sehingga ibu kota Safawi tersebut menjadi kota yang sangat indah. Di kota Isfahan didirikan bangunan-bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa diatas sungai Zende Ruddan istana megah yang di sebut Chihiro l Sutun atau Istana empat puluh tiang. Kota Isfahan juga di perindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik yang dikenal dengan taman bunga empat penjuru. Isfahan merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Kota Isfahan menunjukkan puncak pencapaian artistik periode Safawi. Isfahan merupakan Paris atau Washington pada masanya sendiri. Taman-tamannya, perpustakannya, pavilion dan mesjid-mesjidnya membuat takjub para pelancong Eropa yang tidak pernah melihat hal serupa di negeri mereka sendiri. Orang Iran menyebutkan Nish Al-jahan, yaitu separo dunia, melihatnya berarti melihat separo dunia. Dibangun disuatu tempat sekitar 1600 meter di atas permukaan laut di dataran Iran tengah dan dikelilingi pegunungan, Isfahan menjadi salah satu dari kota-kota elegan di dunia. [20]
d. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Guna memperlancar sosialisasi dan memapankan ajaran Syiah, Syah Abbas I mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Syiah. Banyak sekolah-sekolah dibangun di Isfahan, Masyad dn Siraj. Di antaranya adalah sekolah Teologi, sekolah Khan di Siraj (Iran Tenggara) yang terkenal dengan seorang tokoh pengajarnya, yaitu Mula Shadra. Sekolah ini mendapat pengakuan dari para wisatawan asing dari Eropa yang menyaksikan langsung sebagai tempat kehidupan akademis komherensip dan sangat aktif. [21]
Pada masa Safawi berkembang dua aliran filsafat. Pertama, aliran filsafat perifatetik sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-farabi. Kedua, filsafat Isyragi yang dibawa oleh Suhrawardi pada abad XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan tinggi Isfahan dan Syiraz. Berkembangnya tipe filsafat semacam ini sesuai dengan minat besar mereka terhadap ilmu pengetahuan dan cara berfikir mendalam atau filsafat.
Walaupun kemajuan yang dicapai tidak setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, baik ekonomi, ilmu pengetahuan, seni dan filsafat.
2. Kemunduran Dinasti Safawiyah
Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran setelah pemerintahan Abbas I. Enam sultan setelahnya tidak mampu untuk mempertahankan kemajuan yang sudah diraih oleh pendahulunya. Para Sultan juga lemah dalam memimpin dan memiliki sifat buruk yang juga mempengaruhi jalannya pemerintahan. Sehingga kerajaan Safawiyah banyak mengalami kemunduran dan tidak mengalami perkembangan.
Sepeninggal Abbas I, pemerintahan diambil alih oleh Safi Mirza (1628-1642), ia merupakan cucu dari Abbas I. Pada masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai sultan yang lemah dan kejam terhadap para pembesar-pembesar kerajaan. Ia juga tidak mampu mempertahankan kemajuan-kemajuan yang berhasil dilakukan Abbas I. Selain itu, kota Kandahar berhasil dikuasai oleh Dinasti Mughal dipimpin oleh Sultan Syah Jihan. Begitu pula dengan Baghdad yang berhasil direbut oleh Turki Utsmani.
Keadaan semakin bertambah buruk pada masa pemerintahan Husein (1694-1722). Syah Husein merasa terdesak karena ancaman-ancaman dari Mir Mahmud. Akhirnya, Syah Husein mengakui kekuasaan dan mengangkat Mir Mahmud menjadi Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein). Kekuasaan ini dimanfaatkan oleh Mir Mahmud untuk memperluas wilayah. Ia berhasil merebut Kirman dan Isfahan serta kembali memaksa Syah Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Syah Husein menyerah dan pada 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan. [22]
Jadi dapat di simpulkan bahwa kehadiran Dinasti Safawi dan perannya di atas sejarah umat Islam merupakan perkembangan peradaban bagi umat Islam. Safawi tampil ketika dunia Islam dilanda melemahnya kepemimpinan dan keterpurukan setelah keruntuhan Bagdad akibat serangan bangsa Mongol. Dengan kemajuan dan kejayaan yang telah diraih, Dinasti Safawi telah mengangkat umat Islam dari kejatuhan.
C. Dinasti Mughal di India
Mughal terletak di India dan merupakan salah satu kerajaan yang berjasa dalam perkembangan Islam di India. Islam sudah masuk ke India lima belas tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Sedangkan awal kekuasaan Islam di India terjadi pada masa Khalifah Al-Walid dari Bani Umayyah yang dilanjutkan oleh Ghaznawiyah yang mampu menakhlukkan kerajaan Hindu pada tahun 1020 M. [23]
Jauh sebelum kerajaan Mughal berdiri, sebenarnya semenjak abad 1 hijriyah, islam sudah masuk ke india. Ekspedisi pertama pada zaman khalifah Umar Bin Khattab, tapi akhirnya khalifah Umar mencela penjarahan tersebut dan menariknya. Pada tahun 634 M, setelah khalifah Umar wafat, barulah orang-orang Arab menaklukan Makran di balukistan. Kemudian setelah kekuasaan islam berada pada dinasti Umaiyah di bawah khalifah Walid Ibn Abd al Malik, tentara Islam sekali lagi mengadakan invasi ke wilayah India di bawah panglima Muhammad Ibn al-Qasim dan berhasil menguasai wilayah Sind. Dan pada tahun 871 M, orang-orang Arab sudah menghuni tetap di sana. [24]
Mughal adalah sebuah dinasti yang diperintah oleh raja-raja yang berasal dari Asia Tengah, keturunan Timur Lenk, penguasa Islam asal Mongol. Dinasti ini berkuasa di India antara tahun 1526-1858. Kerajaan Mughal ini didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur. Babur seorang Turki Chagatai yang masih memiliki hubungan darah atau Keturunan timur Lenk dan garis ayahnya yang dipisah lima generasi, sedangkan dari garis ibunya, ia masih keturunan Jengis Khan dari Mongol. Babur menjadi penguasa Farghana pada tahun 1500 menggantingkan ayahnya Umar Mirza bin Abu Sa'id. Dari garis keturunan, Babur memang keturunan-keturunan orang-orang terkenal sebagai penguasa. [25]
Babur sempat kehilangan kekuasaan di Fraghana sehingga ia mengalihkan perhatiaannya ke daerah India dan diperintah oleh raja-raja yang berasal dari Asia Tengah keturunan Timur Lenk. Dengan bantuan Raja Khurasan, ia dengan berani menyeberangi Hindukush dan merebut Kabul dan Ghazani pada tahun 1540 M. Akan tetapi Babur sekali lagi ingin memantapkan kembali kedudukannya di Asia Tengah, sebagai penerus timur. Karena mampu memperoleh bantuan Shah Ismail Safavi dari Persia melawan Shaibani Khan, kepala suku Uzbeg. Babur Sekali lagi mencoba menduduki Samarkand, tetapi gagal. Karena keputus asaannya, Babur kembali ke Kabul. Sekarang ia memutuskan untuk mencoba peruntungan ke Timur yaitu India.
Penyerbuan pertamanya diarahkan ke orang-orang Yusufzais pada tahun 1516 M. Suatu ekspedisi juga dikirimkan untuk melawan Bajaur pada tahun 1520 M. Pada tahun 1524 M Babur maju sampai Dilpalpur yang diserbunya dengan serentak. Akan tetapi dia harus mundur ke Lahore dan kembali ke Babul. Dia bergantung pada kerja sama Daulat Khan Lodi dan Alam Khan, yang atas serunya Babur menyerbu India, tetapi mereka berbalik melawannya ketika mereka mengetahui bahwa dia tidak bermaksud menghentikan usaha penaklukkan India. Babur sekarang benar-benar bertekad menghanjurkan kerajaan Afghan di Delhi yang sedang terhuyung-huyung. Dan bergerak maju menentang sultan Ibrahim yang pada waktu itu menjadi penguasa kota Delhi dan kerajaan Hindustan. [26]
Jadi ketika Babur bertempur dengan Ibrahim lodi yaitu sultan Delhi terakhir karena memenjarakan sejumlah bangsawan yang menentangnya. Ibrahim Lodi terbunuh dan kekuasaanya dikuasai oleh Babur, dan sejak itulah Dinasti Mughal berdiri dan Delhi sebagai ibu kotanya.
1. Kemajuan-Kemajuan Dinasti Mughal
a. Kemajuan di Bidang Politik
Kerajaan Mughal merupakan penguasa Islam yang paling lama berkuasa di India. Dalam kurun waktu pemerintah yang panjang itu, kejaayaan kerajaan ini berlangsung sampai pemerintahan Aurangzeb (1658-1707), dimana puncak kejayaanya dicapai pada masa Akbar (1556-1605). Tidak diragukan lagi Akbar adalah seorang bangsawan dan sekaligus jendral besar yang melandasi kekuasaan atas dasar prinsip-prinsip militeristik. [27]
Di masa Akbar kerajaan tidak dijalankan dengan kekerasan, ia banyak menyatu dengan rakyat. Akbar adalah seorang reforman Kerajaan Mughal yang telah menata pemerintahan dengan sistem yang lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya di bidang agama, ia adalah sebagai tokoh moderat yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Sehingga rakyat India sangat simpati kepadanya dan kehidupan sosial masyarakat saling hormat-menghormati, serta senantiasa menjunjung tinggi rasa toleransi.
Sepeninggal Akbar, para penerusnya, Jehangir dan Syah Jehan (1628-1658) tidak sepenuhnya mampu meneruskan kebijakan politik pendahulunya itu. Penguasa baru ini mulai bekerja dengan tindakan-tindakan yang di sukai umum dan dia berusaha untuk mengambil hati rakyat dengan berbagai tindakan. Dan berjanji untuk menjunjung tinggi kehormatan Islam, memaafkan mereka yang mendukung tuntutan-tuntutan pangeran Khusru (anaknya sendiri) dan menegakkan keadilan.
b. Kemajuan di Bidang Agama
Secara umum para penguasa (sultan) Mughal beraliran Mazhab Sunni. Bahkan sebagian mereka terkenal ortodoksinya. Diantara mereka adalah Jahangir, Syah Jahan, dan Aurangzeb. Aurangzeb bahkan tampak ortodoksinya. Dalam bidang keagamaan ini terutama pada zaman Jahangir, muncul seorang mujaddid terkemuka, Syeh Ahmad Sirhindi. Ia mempraktekkan tarekat Naqsabandiyah. Meskipun sebagian penguasa cenderung terhadap ortodoksi Sunni, saat itu juga muncul pemikiran sintesa dalam agama.
Di bidang agama Akbar mempunyai pendapat yang liberal dan ingin menyatukan semua agama dalam satu bentuk agama baru yang diberi nama Din Illahi. Akbar dikenal sebagai tokoh perbandingan agama karena konsep pemikiran Din Illahi-nya itu. Inti dari konsep ajaran tersebut adalah bahwa agama merupakan gejala dari rasa tunduk kepada satu Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut sultan Akbar, agama-agama tersebut pada hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, perlu dicari satu kesatuan inti agama dan dia membuat agama baru yang disebutnya Din Illahi. Selain itu ia juga mengajarkan ajaran yang disebut Sulhe Kul yang memiliki arti perdamaian universal. [28]
c. Kemajuan di Bidang Ekonomi
Perekonomian kerajaan Mughal tertumpu pada bidang agraris, mengingat keadaan Geografi dan Geologi wilayah India yang sangat cocok menjadi wilayah agraris. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas , nila, dan bahan-bahan celupan. [29]
Di samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu di ekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordin yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengawan. Untuk meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
d. Kemajuan di Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijak an jiwa manusia
Masjid Agung di Sabhal dan Masjid Kabul Path di Panipat pada masa Babur.Gedung Fatehpur Sikri bangunan bersejarah yang bercorak Hindu dan Islam yang dibangun Sultan Akbar Syah I pada 1569. Bangunan ini didirikan untuk mengenang seorang sufi dan wali Allah bernama Hazrat Salim Christi. Di kota ini terdapat sebuah masjid agung dan Pintu Tinggi (Buland Darwaza) yang dikenal sangat indah. Masjid Agung Delhi dan Taj Mahal. Bangunan yang sangat indah ini dibangun oleh Syah Jehan selama dua belas tahun dari 1631 sampai 1643. Berdiri di tepi Sungai Jamuna di Agra, di Taj Mahal inilah dimakamkan istri Syah Jehan, Mumtaz Mahal. [30]
Benteng Merah atau Lal Qila. Dibangun pada 1638, Syah Jehan merancangnya sebagai benteng, istana, sekaligus dihiasi taman yang indah. Di dalam benteng itu terdapat bangunan istana raja yang berhiaskan aneka lukisan dan ornamen kaca, paviliun, jalanan lebar, pasar, tempat ibadah, tempat tinggal istri raja, tempat pemandian anggota keluarga raja, dan taman.
e. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak berdirinya, banyak ilmuwan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan Istana Mughal juga menjadi pusat kegiatan kebudayaan. Hal ini terjadi karena adanya dukungan dari penguasa dan bangsawan serta Ulama. Misalnya Aurangzeb yang memberikan sejumlah uang yang besar dan tanah untuk membangun sarana pendidikan.
Pada tiap-tiap masjid memiliki lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh seorang guru. Pada masa Shah Jahan didirikan sebuah Perguruan Tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintah di pegang oleh Aurangzeb. Di bidang ilmu agama berhasil dikondifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Fatawa-I-Alamgiri.
2. Kemunduran Dinasti Mughal di India
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi'ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksa kan ajaran Syi'ah kepada mereka. Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan istana.yang mengakibatkan keruntuhan atau kemunduran Dinasti Mughal. [31]
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Faktor utama keruntuhan atau kejatuhan masa kejayaan Dinasti Mughal di india adalah disingkirkannya Bahadur Syah II, raja Mughal terakhir. Sehingga pada tahun 1858 M pemerintahan dipegang oleh Inggris dan melakukan kolonialisasi di daerah tersebut. Sehingga tidak ada lagi kerajaan Dinasti Mughal [32] .
Dari ringkasan di atas Kerajaan Dinasti Mughal merupakan kerajaan islam yang terbesar di daerah dataran India. Merupakan sejarah yang besar untuk perkembangan islam di India, dari masa kejayaan hingga masa keruntuhan.
Dinasti-Dinasti Kecil Pada Masa Pemerintahan Bani Abbas
A. Dinasti Ummayah di Spanyol
Islam pertama kali masuk ke Spanyol pada tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Wilayah Andalusia yang sekarang disebut dengan Spanyol diujung selatan benua Eropa, masuk kedalam kekuasaan dinasti bani Umayah semenjak Tariq bin Ziyad, bawahan Musa bin Nushair gubernur Qairuwan, mengalahkan pasukan Spanyol pimpinan Roderik Raja bangsa Gothia (92 H/ 711 M). Spanyol diduduki umat islam pada zaman kholifah Al-Walid (705-715), salah seorang khalifah dari Bani Umayah yang berpusat di Damaskus.
Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar yang kokoh bagi tegaknya Daulah bani Umayyah II di Spanyol. Pusat kekuasan Umayyah di Spanyol dipusatkan di Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil berkuasa selama 32 tahun, dan selama masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai masalah dan ancaman, baik pemberontakan dari dalam maupun serangan musuh dari luar. Ketangguhan al Dâkhil sangat disegani dan ditakuti, karenanya ia dijuliki sebagai Rajawali Quraisy. Pada masa didirikannya dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan.
Faktor eksternalnya antara lain pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan yang menyedihkan.
Adapun faktor internalnya yaitu suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh perjuangan dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana. [33]
1. Kemajuan-Kemajuan Dinasti Umayyah
a. Kemajuan Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-Qanun. Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia menyerang filsafat Al-Ghazali. [34]
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibnu Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibu Khaldun dart Tum adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke Afrika. [35]
Dalam bidang fiqih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa'id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
b. Kemajuan Bidang Seni dan Bahasa
Seni musik Andalusia berkembang dengan datangnya Hasan ibn Nafi' yang lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Ia adalah seorang murid Ishaq al Maushuli seorang musisi di istana Harun al Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama pemerintahan Abd al Rahman II al Autsath. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara berpengaruh hingga masa sekarang. Hasan ibn Nafi' dianggap sebagai peletak pertama dasar dari musik Spanyol modern. Ialah yang memperkenalkan notasi do-re-mi-fa-so-la-si-do. Notasi tersebut berasal dari huruf Arab.
Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda, dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Pada permulaan abad ke-9 M bahasa Arab sudah menjadi bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan Taurat kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Hal seperti itu terjadi pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba'i pada saat itu tidak jarang dari penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih berbahasa Arab daripada bangsa Arab sendiri. [36]
c. Kemajuan Kemegahan Bangunan
Aspek-aspek pembangunan yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota Al-Zahra, Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, masjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada.
2. Kemunduran Dinasti Umayyah di Spanyol
Pada masa al Mudhaffar digantikan oleh Abd al rahman ibn Muhammad yang bergelar al Malik al Nashir li Dinillah (399/1009) dan sejak saat itu kestabilan politik Umayyah mulai menurun dengan terjadinya berbagai konflik masalah di dalam negeri yang akhirnya meruntuhkan Dinasti Umayyah.
Keruntuhan Dinasti Umayyah diawali dengan pemecatan al Mu'ayyad sebagai khalifah oleh sejumlah pemuka-pemuka Bani Umayyah. Kemudian para pemuka tersebut bersedia mengangkat al Nashir sebagai khalifah. Akan tetapi pada kenyataanya dengan turunnya al Mu'ayyad perebutan kursi khalifah menjadi tidak bias dihindari. Dalam tempo 22 tahun terjadi 14 kali pergantian khalifah, yang umumnya melalui kudeta, dan lima orang khalifah diantaranya naik tahta dua kali. Daulah Umayyah akhirnya runtuh ketika Khalifah Hisyam III ibn Muhammad III yang bergelar al Mu'tadhi disingkirkan oleh sekelompok angkatan bersenjata.
Gambaran ringkas keberadaan Dinasti Umayyah di Spanyol membuat kemajuan peradaban islam di belahan benua Eropa. Faktor pendukung kemajuan Spanyol Islam, diantaranya kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd al-Rahman al-Dakhil, Abd al-Rahman al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nashir. Dan faktor kemunduran dan kehancuran Islam di Spanyol antara lain, konflik Islam dengan Kristen,tidak adanya Ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan keterpencilan.
B. Dinasti Rustamiyah di Aljazair
Dinasti Rustamiyah (761-909 M) ini dipelopori oleh Abdurrahman ibn Rustam yang beraliran Khawarij Ibadiyah. Keberadaan Dinasti ini yang radikal, equalitarian dan religio-politis sebenarnya merupakan protes terhadap dominasi Arab yang sunni. Di timur, Kharijiyah merupakan sekte minoritas yang ekstrem dan kasar, sementara di barat, Kharijiyah merupakan sebuah gerakan massa dan lebih moderat. [37] Ibu kotanya adalah Tahart yang berhubungan dengan kota Aures, Tripolitania dan Tunisia Selatan. Dinasti ini bersekutu dengan Bani Umayah di Spanyol karena terikat oleh Idrisiyah yang Syi'i di barat dan Aghlabiyah yang Sunni di timur. Dinasti ini berakhir dengan jatuhnya Tahart ke tangan para penyebar dakwah Fatimiah tahun 296 H/909 M. Walaupun secara politis Rustamiyah di bawah kekuasaan Fatimiyah, tetapi ajaran Khawarij masih berkembang dan berpengaruh di beberapa wilayah Maghrib seperti Oase Mazb Aljazair, Pulau Jerba di Tunisia, dan Jabal Nefusa hingga kini. Tahart di masa Rustamiyah mengalami kemakmuran yang menakjubkan dan sebagai persinggahan di Utara di antara salah satu rute-rute kafilah Trans-Sahara, juga merupakan pusat ilmu pengetahuan agama yang tinggi khususnya aliran Khawarij untuk seluruh Afrika Utara dan bahkan di luar wilayah tersebut, seperti Oman, Zanzibar, dan Afrika Timur. [38]
Menurut kutipan diatas Dinasti Rustamiyah identik dengan ajaran Khawarij yang sangat kuat dan telah menyebar di Timur dan Afrika Utara.
C. Dinasti Idrisiyah di Maroko
Idris ibn Abdullah merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu cucu dari Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Idris pernah juga ikut serta dalam pemberontakan terhadap Abbasiah pada 786 M, namun karena kalah, maka ia melarikan diri ke Maroko (al-Maghribi) dimana prestise keturunan Ali masih dihormati sehingga tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah dinasti Idrisiyah lahir. Nama Idris kemudian dinisbahkan untuk nama dinasti ini yaitu Idrisiyah. [39] Sebelum Idrisiyah masyarakat Barbar menganut equalitarianisme ( egalitarianisme) radikal Kharijiyyah. Dinasti ini berusaha memasukkan doktrin syi'ah ke daerah Maghribi (Maroko) dalam bentuk yang sangat halus, maksudnya tidak dengan cara kekerasan seperti ekspansi penaklukan atau perang.
Ada dua alasan penting yang melatarbelakangi munculnya Dinasti Idrisiyah dan menjadi Dinasti yang kokoh dan kuat. Pertama, adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar yang sangat mengagungkan Ali. Kedua, letak geografis dinasti ini yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkan. [40]
Masa kejayaan Dinasti Idrisiyah terjadi pada masa Idris I, Idris II dan Yahya bin Muhammad. Idris I, dapat mempersatukan suku-suku barbar, imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania, membangun kota Fez sebagai pusat perdagangan, kota suci tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husein ibn Ali ibn Abi Thalib). Masa Yahya ibn Muhammad kemajuan kota dilihat dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan gedung-gedung megah serta membangun masjid Qayrawan dan Masjid Andalusia. [41]
Ibu kota Dinasti Idrisiyah adalah Fez (Fas). Inilah merupakan Dinasti Syi'ah pertama dalam sejarah Islam. Karena Dinasti ini terletak antara kekuatan Islam besar yaitu Umayah II di Andalusia dan Fatimiah di Afrika Utara. Akhirnya panglima dari Hakam II di Andalusia, yaitu Ghalib Billah melakukan aneksasi wilayah Idrisiyah. Setelah itu, maka berakhirlah wilayah Dinasti Idrisiyah.
D. Dinasti Aghlabiyah di Tunisia
Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di bagian barat Afrika Utara, Aghlabiyah-Sunni juga melakukan hal yang sama di timur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika Kecil, terutama Tunisia), sempalan dari "Afrika" Latin, khalifah Harun al-Rasyid mengutus Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah. Mereka berkuasa secara independen dengan penguasa yang bergelar Amir dan mempengaruhi kawasan Laut Tengah. Pada tahun 800 M Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar. [42]
Banyak penerus Ibrahim terbukti sama bersemangatnya dengan Ibrahim sendiri. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan anrara Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memorak-porandakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Salah satu dari mereka Ziyadat Allah I (817-838), pada 827 mengirim ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi para bajak laut. Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil menaklukkan pulau itu pada 902. Sisilia, sebagaimana akan kita lihat, menjadi basis menguntungkan bagi operasi-operasi melawan wilayah daratan, terutama Italia. Selain Sisilia, Malta dan Sardinia juga berhasil direbut, terutama oleh para bajak laut yang operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut muslim dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dn pada pertengahan abad kesepuluh, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga prasasti Kufik yang ditemukan di Arena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di sana yang diduga bertahan sampai awal abad ke sepuluh.
Masjid besar Kaiwaran, yang masih berdiri sebagai saingan bagi masjid-masjid termasyhur ti Timur, mulai dibangun dibawah kekuasaan Ziyadat Allah dan disempurnakan oleh Ibrahim II (874-902). Tempat berdirinya masjid itu juga merupakan lokasi beridirinya bangunan suci 'Uqbah, pendiri Kaiwaran. Masjid 'Uqbah oleh para penerusnya telah dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang didapat dari puing-puing Kartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aghlabiyah. Menara persegi yang melengkapi bangunan masjid ini, merupakan peninggalan bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada masyarakat Afrika barat-laut. Bentuk model menara itu bahkan tidak pernah tergantikan oleh bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi seperti yang ada dalam peninggalan Persia dan bangungan ala Mesir. Dalam gaya Suriah, bata digunakan sebagaimana gaya-gaya bangunan lain menggunakan batu. Berkat masjid ini, Qayrawan, di mata kalangan muslim Barat, menjadi kota suci keempat, setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem -salah satu dari empat gerbang surga.
Dibawah kekusaan Aghlabiyah inilah terjadi perubahan penting di tengah kawasan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya dihuni oleh para penganut Kristen yang berbicara dengan bahasa Latin menjadi kawasan para penganut Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah judi, Afrika Lain Utara -yang menopang St. Agustinus dengan lingkungan budayanya- telah runtuh dan tidak pernah bangkit lagi. Perubahan ini mungkin lebih sempurna dibandingkan perubahan yang terjadi di kawasan manapun, karena kawasan ini tidak terlalu disentuh oleh tentara muslim. Pertikaian yang belakangan muncul dipicu oleh suku-suku Barbar yang belum menyerah. Pertikaian ini berbentuk sektarianisme muslim yang terpecah belah dan sarat dengan bidah. [43]
Dinasti Aghlabiyah (800-909 M) berpusat di Sijilmasa, bertujuan untuk membendung kekuasaan-kekuasaan luar dengan Abbasiah terutama serangan Dinasti Rustamiyah (Khawarij) dan Idrisiyah. Kedua Dinasti ini sama-sama berusaha ekspansi ke al-Maghrib untuk melemahkan kekuasaan Abbasiah di Afrika dan sekitarnya. Periode ini membawa Afrika Utara dan kawasan pesisir Laut Tengah dalam banyak kemajuan. Dinasti ini dilenyapkan oleh Dinasti Fatimiah ketika menguasai ibu kota Sijilmasa, dengan mengalahkan penguasa terakhir Ziadatullah al-Aghlabi III pada 909 M.
Salah satu faktor mundurnya Dinasti Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang pun penguasa pun berada di atasnya. [44]
E. Dinasti Thulun iyah di Mesir
Dinasti Thuluniyah mewakili Dinasti lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Ahmad Ibn Thulun seorang prajurit Turki. Seperti orang- orang Turki lainnya, ia memperoleh peluang besar untuk menjabat di lingkungan istana. Ayah Ibn Thulun menjabat sebagai komandan pegawai istana. Ibn Thulun sudah barang tentu dibesarkan di lingkungan militer yang keras dan ketat. Inilah yang melatar belakangi garis politik Ibn Thulun selanjutnya. [45]
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang gagah dan berani, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syariat dan militer. Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah.
Dalam membangun negerinya mula- mula ia menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Setelah situasi relatif stabil, beralihlah perhatiannya kepada pembangunan bidang ekonomi, irigasi diperbaiki, pertanian ditingkatkan, perdagangan digiatkan sehingga pemasukan meningkat. Kemudian dalam bidang keamanan dia membangun angkatan perang dari oarng- orang Turki Negro dan lainnya. Dengan kuatnya militer, Ibn Thulun melakukan ekspansi ke Syam.
Setelah Ibn Thulun, kepemimpinan Mesir dilanjutkan oleh keturunannya, Khumarawaih, Jaisy, Harun dan terakhir Syaiban. Di bawah kepemimpinan Khumarawaih, Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada akhir pemerintahan Khumarawaih Dinasti ini tampak mulai melemah karena kemewahan hidup Khumarawaih sendiri dan ketidakmampuannya mengendalikan ekonomi kerajaan dan tentara. Setelah direbut kembali oleh pemerintahan bani Abbasiyah, membuat khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syiria dan kemudian merebut Thuluniyah serta membawa keluarga Dinasti yang masih hidup ke Baghdad. Setelah ditaklukkan ,Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur. [46]
Dari gambaran diatas Dinasti Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya sejarah kebudayaan islam. Sebagai contoh kemajuan prestasi dinasti tersebut ialah dalam bidang seni arsiterktur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yag megah, pembangaunan rumah sakit yang memakan biyaya cukup besar sampai 60.000 dinar dan bangunan Istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya.
F. Dinasti Ikhsidiyah di Turkistan
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Thugi yang diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammab Ibn Tughi diangkat sebagai gubernur di Mesir oleh Abbasiyah saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara. [47]
Pada masa Dinasti Ikhsyidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan dunia gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid dan rumah-rumah mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang sangat berperan dalam pendewasaan pendidikan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syuq Al-Waraqin.
Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsyidiyah mengadakan ekspansi besar-besaran dengan menaklukan Siria dan Palestina ke dalam otonominya. Pada tahun berikutnya, Ikhsyidiyah menaklukan Madinah dan Mekah. Dengan demikian kekuasaan Ikhsyidiyah bertambah besar dan pesat.
Pada masa itu setelah meninggalnya Kafur, Iksidiyah menjadi Dinasti yang lemah. Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibn Ali (967-972 M.) yang menerima tahta kekuasaan setelah Kafur, tampaknya tidak bertahan lama, dikarenakan kepeminpinannya yang sangat lemah, sehingga serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya Ikhsyidiyah dapat ditaklukan pula oleh Fatimiah. [48]
Jadi ada faktor yang menyebabkan kejatuhan dari Diansti Ikhsidiyah yaitu karena serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, dan pada masa sebelum penaklukan oleh Fatimiah, telah terjadi penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M.
G. Dinasti Hamdaniyah di Aleppo dan Mousul
Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib. Putranya Al-husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al-Haija Abdullah diangkat jadi gebernur Mousul oleh Khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M. Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh Khalifah Abbasiyah karena beralianasi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya dia diampuni oleh Khalifah Abbasiyah. [49]
Wilayah kekuasaan Dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb ( Aleppo ). Wilayah kekuasaan di Aleppo, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu Pengetahuan. Pada masa itu pula muncul tokoh- tokoh cendekiawan besar seperti Abi al Fath dan Utsman Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib al Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn Nashr ad daulah, Abu A'la al Ma'ari, dan Syaif ad Daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al- Farabi. [50]
Mengenai jatuhnya Dinasti ini terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun Dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan destruktif tetap ia jalankan sehingga rakyat menderita. Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari invasi serangan Bizantium yang energik sehingga Aleppo dan Himsh terlepas dari kekuasaannya. Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiyah ke Suriah bagian selatan, sampai mengakibatkan terbunuhnya Said ad Daulah yang tengah memegang tampuk kekuasaan Hamdaniyah. Hingga Dinasti ini jatuh ke tangan Dinasti Fatimiyah. [51]
Sehingga pada akhirnya Dinasti kerajaan-kerajaan islam memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kemajuan umat muslim di dunia. Dengan berabagai aspek yang dapat diraihnya, untuk dijadikan tolak ukur sebagai bahan ajar untuk kemajuan proses peradaban islam pada masa sekarang dan yang akan datang agar menjadi lebih baik. Disebabkannya Dinasti kerajaan-kerajaan islam mengalami kemerosotan atau kemunduran dikarenakan banyaknya faktor-faktor. Yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dan jarang untuk melakukan ekspansi dan politisasi sehingga banyak Dinasti kecil yang jauh dari jangkauan membuat dinasti sendiri. Banyaknya wilayah dari Bani Abbasiyah yang kurang memperhatikan hak otonom rakyat, dan kemajuan bangsa-bangsa Eropa yg membuat Dinasti kerajaan-kerajaan islam mengalami kemunduran.
DAFTAR PUSTAKA
Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, Surabaya, Cahaya Intan, 2013
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Akbar Media, 2003
Syafig A Mughnini, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Logos, 1997
Bosworth, C.E., The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan
judul Dinasti-Dinasti Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 1993
Carl Brockelman, History of the Islamic People, London, Rotledge and Kegan Paul, 1982
P.M. Holt dkk (ed). The Cambridge History of Islam, Vol 14 Cambridge, Cambridge University Press, 1970
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2014
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societas, di terjemahkan Ghubron A. Mas'ud Sejarah Social Umat Islam Cet. II, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2000
Akbar S. Ahmed, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, diterjemahkan Pangestu Ningsi, Living Islam Cet.I, Bandung, Penerbit Mizan, 1997
Hamka, Sejarah Umat Islam III , Jakarta, Bulan Bintang, 1981
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, Malang, UIN Malang Press, 2008
Imam Fu'adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Yogyakarta, Teras, 2012
Mahmudunnasir, Islam its Concept and History, New Delhi, Kitab Bavan, 1981
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, Surabaya, Malowopati Surabaya, 2003
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007
Fatah, Syukur, Sejarah Perdaban Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2012
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, Yogyakarta, Teras, 2012
Philip K. Hitti, History of The Arabs, From the Earlest Time for the Present, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. 1 Jakarta, PT Serambi Ilmu Semseta, 2002
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993
Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, Malang, UMM Press, 2004
Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008
[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, (Akbar Media, 2003), hlm. 351-352.
[2] Syafig A Mughnini, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos,1997), hlm. 53
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 131.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 132.
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), hlm. 34-35.
[6] Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Cahaya Intan,2013), hlm. 186.
[7] Philip K. Hitti, History of The Arabs, From the Earlest Time for the Present, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. 1 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semseta, 2002), hlm. 713-714.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 136.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 133-138.
[10] Carl Brockelman, history of the islamic people, (London: Rotledge and Kegan Paul 1982),hlm. 328.
[11] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 353-354.
[12] P.M. Holt dkk (ed). The Cambridge History of Islam, Vol 14 (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm. 395-396.
[13] Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Cahaya Intan,2013), hlm. 194.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 138.
[15] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 189.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 143.
[17] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, hlm. 218.
[18] Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Cahaya Intan,2013), hlm. 197.
[19] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societas, di terjemahkan Ghubron A. Mas'ud Sejarah Social Umat Islam (Cet. II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 449.
[20] Akbar S. Ahmed, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, diterjemahkan Pangestu Ningsi, Living Islam (Cet.I;Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 130.
[21] Abdul Karim, Sejarah Pemikiarn dan Peradaban Islam (Cet. I; Yokyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm.308.
[22] Hamka, Sejarah Umat Islam III (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 71.
[23] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 133.
[24] Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Cahaya Intan,2013), hlm. 199.
[25] Imam Fu'adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 247.
[26] Mahmudunnasir, Islam its Concept and History, (New Delhi: Kitab Bavan, 1981), hlm., 296
[27] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. (Surabaya: Malowopati Surabaya, 2003), hlm. 254.
[28] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 316-317.
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 161.
[30] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 134.
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 160.
[32] Ah Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Cahaya Intan,2013), hlm. 208.
[33] Fatah, Syukur, Sejarah Perdaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm, 121.
[34] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 101.
[35] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 102.
[36] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm, 103.
[37] C. E. Bosworth, The Islamic Dinasties, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 44.
[38] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110.
[39] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 128.
[40] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 128.
[41] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Islam dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 129.
[42] C.E. Bosworth, The Islamic Dinasties, Trj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan 1993), hlm. 46.
[43] Philip K. Hitti, History of The Arabs, From the Earlest Time for the Present, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. 1 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semseta, 2002), hlm. 571.
[44] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993), hlm 211.
[45] Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 81.
[46] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993), hlm 189.
[47] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993), hlm 190.
[48] Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 83.
[49] Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 167.
[50] Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 168.
[51] C.E. Bosworth, The Islamic Dinasties, Trj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan 1993), hlm. 75.
Download File Dinasti-dinasti Kecil masa bani Abbas dan Kerajaan pasca Dinasti Abbasiyah (Format Docx.)
*Note !! : Format penulisan dalam file telah diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku