KONSEP UMUM
TENTANG BELAJAR
Makalah disusun untuk memenuhi mata kuliah
Aqidah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu
:
Prof. Dr. KH.
Ali Mas’ud, M.Ag, M.Pd.
M. Fahmi,
S.Pd.I, M.Hum, M. Pd.
Disusun Oleh :
Muhammad Fathur
Rochim (D71218084)
Rama Maulana Isya’ (D71218099)
Siti Nur Afifah ( D71218101)
Amalia Ragil Trijayanti (D91218119)
Rama Maulana Isya’ (D71218099)
Siti Nur Afifah ( D71218101)
Amalia Ragil Trijayanti (D91218119)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Aqidah Ilmu Kalam PAI.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini memenuhi tugas mata
kuliah Aqidah Ilmu Kalam dari Bapak M. Fahmi, S.Pd.I, M.Hum, M. Pd. Untuk mengetahui tentang.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas. kami sadar bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pengampu kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa
yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Surabaya, 19 September
2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah serta
perkembangan pemikiran dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang
umat ini. Keduanya, saling mempengaruhi saling mengingat sehingga hubungan
keduanya begitu erat. Bahkan bisa dikatakan corak pemikiran yang berkembang
pada suatu masa mempengaruhi sejarah pada masa itu.
Pada masa
Rasulullah saw, perkembangan pemikiran di antara umat tak terlihat begitu jelas
sebagaimana dewasa ini. Umat pada waktu itu berada dalam satu komando serta
tunduk dan patuh baik dalam urusan politik kenegaraan terlebih lagi dalam
urusan agama.
Akan tetapi,
setelah wafatnya Rasulullah saw. benih perpecahan mulai tampak. Bahkan sebelum
Rasulullah saw dimakamkan, perbedaan pendapat dan pemikiran para sahabat telah
terlihat ketika mempersoalkan siapa yang menggantikan Rasulullah saw. sebagai
pemimpin dalam hal ini dikenal dengan istilah khalifah.
Sedemikian
alotnya musyawarah waktu itu hampir saja membuat umat terpecah, bahkan
pemakaman jenazah Rasulullah saw. pun harus menunggu beberapa hari sampai
akhirnya musyawarah menghasilkan keputusan dan mengangkat Abu Bakar al-Siddiq
sebagai khalifah pertama.[1]
Selajutnya, setelah dinasti Bani Umayyah
berkuasa ada dua kelompok yang oposisi – dengan motivasi yang berbeda - yang
menentang dan ingin menggulingkan pemerintahan. Kelompok pertama barisan
pendukung fanatik Ali yaitu Syi‘ah dan kelompok yang kedua adalah Khawarij itu
sendiri. Di tengah pertikaian ini bahkan saling mengkafirkan, muncullah
kelompok baru yang lebih lunak, tidak dengan mudah mengkafirkan dan menunda
(dalam artian biarlah Allah swt. yang memutuskannya di hari kemudian)
memberikan justifikasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrasi, yaitu
Murji‘ah.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
asal-usul munculnya aliran Khawarij?
2.
Apa
pengertian Aliran Khawarij?
3.
Apa
saja ajaran pokok dalam aliran Khawarij?
4.
Apa
saja sekte-sekte Aliran Khawarij?
5.
Bagaimana
asal-usul munculnya aliran Murji’ah?
6.
Apa
pengertian Murji’ah?
7.
Apa
saja ajaran pokok dalam aliran Murji’ah?
8.
Apa
saja sekte-sekte Aliran Khawrij?
C.
Tujuan
Makalah
1.
Mengetahui
asal-usul munculnya aliran Khawarij.
2.
Memahami
arti Aliran Khawarij.
3.
Mengetahui
ajaran pokok aliran Khawarij
4.
Memahami
sekte-sekte aliran Khawarij.
5.
Mengetahui
asal-usul munculnya aliran Murji’ah.
6.
Memahami
arti aliran Murji’ah.
7.
Mengetahui
ajaran pokok aliran Murji’ah.
8.
Memahami
sekte-sekte aliran Murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul
Munculnya Aliran Khawarij
Kemunculan Khawarij (sebagai suatu
sekte atau kelompok) terjadi pada masa kekhalifaan Ali ra, pada tahun 37 H,
pada masa konflik antara Ali ra. dengan Mu‘awiyah ra. beserta pendukungnya.
Konflik inilah kemudian yang menjadi titik awal dari konfilk-konflik dan
perselisihan yang terjadi selanjutnya dalam kehidupan Arab dan umat Islam.
Mereka tidak berhenti pada perselisihan dalam batasan-batasan politik, tetapi
juga menyandarkannya kepada agama.[3]
Sekte
Khawarij pada mulanya adalah bagian dari sayap militer Khalifah Ali ra. yang
menolak arbritrasi di Dumatu al-Jandal. Mereka menganggap bahwa semua
pihak yang menerima arbitrase adalah murtad dan kafir karena melanggar dari
haluan yang telah digariskan Allah. Arbritrasi atau tahkim terjadi
antara Ali ra. dan Mu‘awiyah ra. yang menyepakati gencatan senjata sebagai
solusi damai dalam sebuah peperangan antar keduanya di Siffin.[4]
Sebenarnya, Ali
ra. awalnya menolak perdamaian yang diajukan Mu‘awiyah ra. namun karena desakan
beberapa sahabat terutama kaum qurra’, seperti Al-Asy’at Ibn Qais,
Mas‘ud Ibn Fudaki al-Tamimi dan Sa‘id Ibn Husein al-Tai, dengan hati berat,
terpaksa Ali ra. memerintahkan komandan pasukannya (pengikutnya) untuk
menghentikan peperangan. Akhirnya mereka menerima perdamaian tersebut.
Kaum Khawarij kemudian meminta ‘Ali untuk tidak menerima keputusan arbitrasi
tersebut. Sudah tentu sebagai orang yang beriman lagi berpegang teguh pada
janji ‘Ali menolak permintaan kaum Khawarij itu.20 Menurut kaum Khawarij,
arbitrasi tidak dapat diterima karena hukum yang dihasilkan adalah produk
manusia, sementara tidak ada hukum selain dari hukum Allah – inilah kemudian
yang menjadi semboyan mereka, bahkan mereka menghukumi kafir yang terlibat
dalam arbitrasi yaitu ‘Ali, Mu‘awiyah, ‘Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy‘ari,
juga menghukumi kafir
Karena kecewa dengan hasil arbitrasi tersebut
dan kecewa juga dengan sikap sang Khalifah (‘Ali) karena menerima hasil dari
arbitrasi tersebut, akhirnya mereka memisahkan diri lalu pergi ke Harura, suatu
tempat di daerah Kufah. Di sanalah mereka berkumpul dan menjadikannya sebagai benteng
pertahanan. Di Harura juga mereka melakukan konsolidasi dan merapikan struktur
kepemimpinannya. Syabats Ibn Rabi‘i al- Tamimi sebagai panglima militer,
‘Abdullah Ibn al- Kawwa’ al- Yasyakra sebagai kepala agama yang mempunyai
otoritas menjadi Imam besar dalam shalat dan ‘Abdullah Ibn Wahab al-Rasaby
sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai otoritas mengatur jalannya
pemerintahan.[5]
B.
Pengertian Aliran Khawarij
Khawarij dari
segi bahasa berasal dari term kharaja yang berarti keluar, mengeluarkan,
memberontak.[6]
Menurut Harun Nasution, nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar
keluar dari barisan ‘Ali.[7]Hal ini
senada dengan pendapat al- ’Asy‘ari sebagaimana dikutip Dr. ‘Ahmad ‘Awad Abu
al- Syabab dalam bukunya “Al- Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa’iduhum”,
bahwa mereka dinamai dengan nama ini (Khawarij) sebab mereka keluar dari
barisan ‘Ali ra.[8]
Adapun al-
Syahristani, memberikan pengertian yang lebih luas. Menurutnya yang dimaksud
dengan Khawarij, semua yang keluar dari atau memberontak kepada pemimpin yang
sah yang telah disepakati mayoritas dinamakan kharijiyyan, baik
pemberontakan itu terjadi pada periode sahabat pada masa khulafau
al-rasyidin atau imam-imam (pemimpin-pemimpin) pada tiap zaman.[9]
Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang
bersedia mengorbankan (menjual) diri untuk Allah swt. Ada lagi nama yang lain
yang dinisbahkan kepada kaum Khawarij ini, di antaranya; a) ahlu
al-nahrawan, mereka dinamai demikian sebab di sana tempat mereka diperangi
oleh ‘Ali ra, b) Haruriyyah, nama ini dinisbahkan kepada Harura, suatu
perkampungan di daerah Kufa. Di sanalah mereka pertama kali berkumpul dan
melakukan konsolidasi setelah memisahkan diri dari barisan ‘Ali ra, c)
Al-Nawasib, kata tersebut merupakan bentuk plural dari “nasibi” (yang
memusuhi), nama ini dilekatkan kepada kaum Khawarij sebab kebencian mereka
kepada ‘Ali ra. Masih ada lagi nama-nama yang lain untuk kaum Khawarij ini.
Namun, dari sekian nama yang dilekatkan pada kelompok ini, nama khawarij lah
yang paling populer.
C.
Ajaran Pokok Aliran Khawarij
Adapun pokok ajaran yang dimaksud adalah sebagai berikut:
A.
Dalam
masalah ketata-negaraan, kaum Khawarij memiliki pandangan yang lebih
demokratis. Mereka berpendapat bahwa semua muslim boleh menjadi khalifah jika
syaratnya terpenuhi. Kemudian menurut mereka, khalifah harus dipilih secara
merdeka dan bebas oleh umat Islam. Paham ini merupakan anti-mainstream pada
waktu itu. Yang mana pada waktu itu paham yang berkembang adalah yang harus
menjadi khalifah adalah Bangsa Arab dan dari Suku Quraisy saja. Pada persoalan
ini, pandangan Khawarij lebih dekat kepada ruh Islam, demikian menurut Dr.
Muhammad ‘Imarah.
B.
Dalam
persoalan revolusi, mereka bersepakat wajibnya “khuruj” terhadap
pemimpin yang tidak adil, fasiq dan lemah. Jika seorang menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan bahkan dibunuh.[10]
C.
Adapun
pandangan mereka terkait kekhalifaan Khulafa’u al-Rasyidin, mereka tetap
menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar al- Shiddiq ra.[11]
D.
Dan Dalam
persolan dosa-dosa besar, mereka memandang pelakunya telah kafir, dan kekal di
dalam neraka. Kecuali sekte al-Najdat, yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
itu fasiq kafir maksdunya adalah ia hanya kafir nikmat.[12]
E.
Khalifah
‘Ali ra., Mu‘awiyah ra, ‘Amr Ibn al- ‘As dan Abu Musa al- Asy‘ari serta pasukan
perang Jamal mereka hukumi kafir.
F.
Dalam
persoalan umat Islam yang di luar golongan mereka, kaum Khawarij tidak memiliki
rasa toleransi dan menganggap bahwa selain dari golongannya itu bukanlah
muslim.
G.
Kaum
Khawarij juga berpendapat bahwa ketidakadilan itu tidak berasal dari Allah swt.
tetapi manusialah yang menciptakannya. Manusia punya kemampuan dalam menciptkan
perbuatannya serta merdeka dalam memilih takdirnya.[13]
D.
Sekte-Sekte Aliran Khawarij.
a.
Al-Muhakkimah
Dipandang
sebagai golongan khawarij asli karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian
membangkang. Nama Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka. La hukma illa li
Allah yang merujuk kepada surah Al An-am: 57
b.
Al-Azariqoh
Bahwa
setiap orang islam yang menolak ajaran mereka dianggap musyrik karena yang
tidak berhijrah ke wilayah mereka juga musyrik., semua orang islam yang musyrik
boleh ditawan atau dibunuh termasuk anak dan istri mereka. Mereka memandang
daerah mereka sebagai dar al-islam (darul islam), diluar daerah itu dianggap
dar al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir). Sekte ini
memandang bahwa hanya merekalah yang muslim, semua yang tidak sepaham dengan
mereka dianggap kaum musyrik yang halal darahnya dan wajib untuk diperangi.
Bahkan menurut sekte ini bukan hanya orang dewasanya tergolong musyrik, tetapi
juga anak-anaknya.[14]
c.
An-Najjat
Mereka
menolak paham Al-Azariqoh bagi An-Najjat dosa kecil dapat meningkatkan menjadi
besar bila dikerjakanterus-menerus. Bagi mereka Taqiyah (orang yang
menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya diperbolehkan
mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan
keyakinannya.
Sekte
ini juga berpendapat bahwa orang-orang yang tidak berhijrah mereka menamakannya
munafik. Kemudian mereka juga membolehkan taqiah.[15]
baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pengetahuan akan Allah dan
rasul-rasul-Nya, serta meyakini apa yang datang dari sisi Allah swt. adalah hal
yang wajib diketahui orang Islam,[16] dalam
hal ini orang Islam yang dimaksud adalah sekte al- Najjat.
E.
Asal Usul Munculnya Kaum Murjiah
Agak sulit menentukan kapan
munculnya Murji‘ah sebagai suatu kelompok. Berbeda ketika membahas Khawarij,
selain itu ketika merujuk ke literatur-literatur terkait Murji‘ah tidak sekaya
literatur-literatur yang bersentuhan dengan Khawarij.
Namun, pada dasarnya hal yang
melatar belakangi munculnya Murji‘ah adalah persoalan ketidakstabilan politik
juga, sebagaimana Khawarij dan Syi‘ah.
Krisis politik dimulai dari pada
masa-masa akhir pemerintahan ‘Utsman dan ‘Ali. Hal ini kemudian memicu
pergolakan di tengah umat Islam baik secara pemikiran maupun dalam bentuk
aksi-aksi. Agama kemudian dijadikan payung pelindung akan sikap dan tindakan
mereka, baik bagi kelompok yang menang maupun yang kalah. Dari sini dapat
dikatakan bahwa aliran Kalam atau teologi Islam lahir dari konflik politik yang
dibingkai dengan ajaran agama.
Berbagai
perselisihan, bahkan sampai peperangan tak terelakkan dalam masa krisis politik
tersebut. Perang Jamal, antara koalisi Talhah, Zubair, dan ‘Aisyah melawan
‘Ali, tak terhindarkan yang mengakibatkan terbunuhnya Talhah dan Zubair dalam
peperangan, dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekah dengan terhormat.[17]
Belum lagi, pertentangan ‘Ali dan Mu‘awiyah yang puncaknya perang Siffin, namun
dalam perang Siffin penyelesaiannya dengan arbitrasi yang hasilnya tidak
menguntungkan pihak ‘Ali, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Pertentangan politik yang
mengakibatkan peperangan dan saling membunuh antara umat Islam bahkan antara
para sahabat merembet ke masalah teologi atau akidah yang berpangkal dari murtakib
al-kaba’ir (pelaku dosa besar).[18]
Saling tuding terjadi antara umat
Islam, kaum Khawarij menuduh semua yang terlibat arbitrasi dan menerimanya
adalah kafir. Syi‘ah berbicara seputar imamah yang harus berasal dari keturunan
‘Ali. Dalam hal mengkafirkan Syi‘ah juga ikut bicara, antara lain sekte
Kamiliyah mengkafirkan semua sahabat yang tidak mendukung pengangkatan ‘Ali.
Di tengah kemelut politik dan
saling mengkafirkan seperti ini, ada segolongan sahabat yang bersikap netral
dan menahan diri untuk membicarakan persoalan tersebut. Sikap mereka itu
didasarkan pada pandangan teologi bahwa penilaian hukum bagi pelaku dosa besar
diserahkan kepada Tuhan. Itulah yang merupakan embrio terbentuknya sekte
Murji‘ah.
F.
Pengertian Murjiah
Term Murji‘ah
berasal dari term bahasa Arab yaitu “al- irja’”, yang bermakna; pertama,
“al-ta’khir” yang artinya pengakhiran atau penundaan.[19] kedua,
“i‘ta’ al- raja’” yang artinya memberi pengharapan.
Penggunaan kata murji‘ah sebagai suatu kelompok atau sekte sebagaimana
ditunjukkan pada makna yang pertama itu benar dan sesuai. Sebab, dalam paham
sekte ini, mengakhirkan amal dari pada niat dan aqidah. Adapun dengan makna
yang kedua juga tepat. Sebab mereka (kaum murji‘ah) berpendapat,
kemaksiatan tidak akan membahayakan iman, sebagaimana ketaatan tidak akan
berfaedah bagi orang kafir.
Menurut
al- Syahristani, Murji‘ah adalah suatu kelompok yang berbicara tentang iman dan
amal (hubungan iman dan amal), tetapi mereka ada kesamaan dengan Khawarij. pada
beberapa hal dalam persoalan imamah (kepemimpinan).[20]
G.
Ajaran pokok dalam aliran murji’ah
Secara umum, pokok ajaran dari Murji‘ah dapat dilihat
dari beberapa pendapatnya, sebagai berikut:
a. Rukun iman ada dua, yaitu: iman kepada Allah dan
iman kepada utusan Allah.
b. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia
telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala
ketentuannya tergantung Allah di akhirat kelak.
c. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apa pun
terhadap orang bila telah beriman.
d. Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila
dilakukan di saat kafir. Ini berarti perbuatan-perbuatan “baik” tidak dapat
menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena
melakukannya sebelum masuk Islam.
e. Golongan Murji‘ah tidak mau mengkafirkan orang yang
telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan
lain-lain, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun tidak
dapat memengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim.
f. Aliran Murji‘ah juga menganggap bahwa
orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya
tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir
atau tiaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya namun tergantung
batinnya. Sebab ketentuan ada pada i‘tiqad seseorang dan bukan
segi lahiriahnya.[21]
H.
Sekte-Sekte Aliran Murji’ah
Al-Syahrastani telah mengemukakan
pandangan-pandangan berbagai golongan Murji’ah dalam persoalan iman dan kufr
sebagai berikut:
a.
Al-Yunussiyyah
Yang dipelopori
oleh Yunus Ibn ‘Aun Al-Namiri, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah kepada
Allah dengan menaaatinya, mencintai dengan sepenuh hati, meninggalkan takabur.
Menurutnya iblis termasuk makhluk yang arif billah, namun ia dikatakan kafir
karena ketakaburannya kepada Allah.
b.
Al-Ubaidiyyah
Yang dipelopori
oleh Ubaid Al-Mukta’ib berpendapat bahwa selain perbuatan syirik maka diampuni
Allah. Kemudian sekiranya ada seseorang yang mati dalam iman, dosa dan
perbuatan jahatnya tidak merugikan yang bersangkutan.[22]
c.
Al-Ghassaniyyah
Yang dipelopori
oleh Ghassan Al-Kafi berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan (ma’rifah)
kepada Allah dan Rasul, mengakui dengan lisan dengan kebenaran yng diturunkan
oleh Allah mnamun secara global, tidak perlu secara rinci. Iman menurutnya
bersifat statis: tidak bertambah dan berkurang.[23]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
etimologis kata khawarij berasal
dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Terdapat beberapa doktrin pokok dalam kaum Khawarij. Doktrin yang
dikembangkan kaum Khawari’j dapat dikategorikan dalam tiga
kategori: politik, teologi, dan sosial. Dalam
perkembangannya subsekte Khawari’j yang besar terdiri dari delapan
macam.
Murji’ah diambil
dari Al-Irjo’, yaitu menunda, menangguhkan, mengakhirkan: mungkin karena
mereka mengakhirkan tingkatan amal dari iman, atau kah mereka menangguhkan
hukuman terhadap pelaku dosa besar sampai hari qiamat, dan menyerahkan
perkaranya kepada Tuhannya. Ajaran pokok Murji’ahpada dasarnya bersumber
dari gagasan atau doktrin irja atau arja’ayang diaplikasikan dalam banyak
persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik,
doktrin irja di implementasikan
dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu di ekspresikan dengan sikap
diam. Golongan Murji’ah dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu
golongan moderat dan ekstrim.
DAFTAR PUSTAKA
Limaza Ta’akhkhara al-Sahabah (ridwan Allah ‘alaihim) fi
Dafn al-Rasul al-A’zam alaihi al-Salatu wa al-Salam”, Hiz-but-Tahrir Media
Office-Palestine. http://www.pal-tahrir.info/articles diakses pada 19 September 2018
Ahmad Yani Anshori, “Khawarij”.
Abbas,
Nurlaela. Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar. Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2014.
Abu al- Syabab, Ahmad
‘Awad. Al- Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa’iduhum. Cet. I; Beirut: Dar al- Kutub al- ‘Ilmiyah, 2005.
Anshori, Ahmad
Yani. “Khawarij”. Jurnal Asy-Syir’ah 43, no. 2 (2009)
Burhanuddin,
Nunu. Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer. Cet I; Jakarta: Kencana, 2016.
Husain,
Ahmadi. “Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu”. Al-Fikr
19, no. 1 (2015).
‘Imarah, Muhammad. Tayyarat al-Fikri al-Islami. Cet.
II; Kairo: Dar al-Syuruq, 1991.
Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Nasution,
Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan
Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986.
al- Syahristani, Abi al- Fath Muhammad Ibn Abdul Karim
Ibn Abi Bakr. Al-Milal wa al-Nihal. Cet. III; Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1993.
[1] Limaza Ta’akhkhara al-Sahabah (ridwan Allah ‘alaihim) fi
Dafn al-Rasul al-A’zam alaihi al-Salatu wa al-Salam”, Hiz-but-Tahrir Media
Office-Palestine. http://www.pal-tahrir.info/articles diakses pada
19 September 2018
[2] Ahmadi Husain, “Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman,
Kufur, Akal dan Wahyu”, Al-Fikr 19, hal 42.
[6] Ahmad
Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hal 330.
[7] Harun Nasution,
Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan (Cet. V;
Jakarta: UI-Press, 1986), hal 11.
[8] Ahmad ‘Awad Abu al- Syabab, Al- Khawarij: Tarikhuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa’iduhum (Cet. I;
Beirut: Dar al- Kutub al- ‘Ilmiyah,
2005), hal 7.
[21] Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam
Tematik, Klasik, dan Kontemporer, hal 73-74.
Download Link
Download Makalah SEJARAH KHAWARIJ DAN MURJIAH KONSEP UMUM TENTANG BELAJAR (Format Docx.)